Jakarta, CNN Indonesia -- Dalam masa kecil saya, azan bukan hanya sekadar panggilan shalat. Azan, khususnya Magrib, juga merupakan pengingat terakhir untuk segera bergegas pulang setelah laga sepak bola bersama teman sebaya di lapangan dekat rumah.
Saat matahari makin turun, maka laga sepak bola dihentikan. Namun tak lantas saya dan teman-teman beranjak pulang.
Masih ada obrolan-obrolan penuh antusias yang dilakukan, tentang klaim kehebatan yang baru saja ditunjukkan, atau tentang hal-hal lucu dan konyol yang tak sengaja tersaji di lapangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal-hal itu kemudian akhirnya usai ketika azan Maghrib terdengar. Semua bergegas pulang ke rumah. Mandi cepat yang sering disebut mandi koboi. Dan kemudian sudah ada di masjid sebelum shalat dimulai.
Dengan jarak masjid di Indonesia yang relatif sangat dekat, mungkin satu RW bisa terdiri dari dua hingga tiga masjid, maka hal-hal seperti itu mungkin dilakukan.
Saya bersama rekan-rekan yang baru saja menyelesaikan liputan tengah menyantap makan malam di sebuah restoran halal di Xingning District.
Dengan banyaknya pengunjung yang datang, hanya ada seorang ibu yang sibuk melayani dibantu anaknya. Ibu tersebut bernama Halimah dan sang anak bernama Aisyah.
Ketika jarum jam hampir menunjuk ke angka 10 malam, seorang pria masuk ke warung tersebut. Ia adalah sang ayah yang bernama Abdullah.
Dalam kesempatan sebelumnya, saya memerhatikan bahwa Abdullah terus sibuk membantu membuat mie dan menu masakan lainnya di warung itu. Namun ketika adzan berkumandang di pukul 20.40, ia akan pergi ke masjid untuk menunaikan shalat isya dan tarawih di bulan Ramadan.
Abdullah meninggalkan urusan jual-beli, demi kesempatan menghadap Ilahi.
Beberapa hari sebelumnya, dengan bahasa isyarat, saya dan rekan-rekan ditanya tentang puasa. Ketika kami mengangguk memberi tahu bahwa kami juga puasa, ia kemudian langsung mengajak kami untuk ikut shalat di Masjid Nanning yang letaknya hanya sekitar 20 meter dari tempat itu.
Kami kemudian mengangguk, namun tidak ikut. Dalih tugas yang belum beres membuat kami memilih untuk lebih dulu menyelesaikan tugas sebelum akhirnya nanti beribadah sendiri setelah selesai semua urusan duniawi.
Melihat jadwal laga Indonesia lawan Taiwan di Jumat siang hari, maka saya meyakini akan ada waktu cukup bagi saya dan rekan-rekan untuk ikut salat tarawih di Masjid Nanning.
Jumat sore, kami sudah ada di hotel menanti waktu maghrib tiba. Begitu selesai berbuka dengan menu ala kadarnya, kami langsung meluncur ke warung halal yang berjarak sekitar 20-30 menit dengan taksi.
Saat tiba di sana, waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih 15 menit. Kami memesan makanan sambil bertanya pada Abdullah dengan bahasa isyarat, seakan bertanya pukul berapa shalat isya akan dimulai.
Ia lalu menunjuk angka delapan di jam dinding, pertanda bahwa shalat isya akan dimulai pada pukul 20.40 waktu setempat. Abdullah juga menggerakan tangan ke mulut dengan cepat lalu mengangkat kedua tangannya sejajar telinga.
Hal itu mungkin bisa saya artikan sebagai 'makan yang cepat, lalu ayo kita shalat!'.
Setelah selesai makan, kami langsung berjalan menuju Masjid Nanning. Bagian bawah masjid adalah restoran sedangkan masjid berada di lantai atas.
Di depan masjid, banyak kendaraan parkir, mulai dari mobil hingga motor listrik. Ada jamaah yang datang berjalan kaki, namun ada pula jamaah yang datang dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Saat ada di lantai dua untuk wudhu, azan Isya terdengar. Azan di masjid itu tidak mengenakan pengeras suara, murni suara lantang dari muadzin yang melafalkan adzan dengan penuh penghayatan.
Saya berwudhu lalu langsung masuk ke dalam masjid. Awalnya, saya berpikir bahwa shalat isya dan tarawih di Masjid Nanning ini mungkin hanya diisi oleh tidak lebih dari 30 orang.
Namun kemudian tujuh shaf yang ada, setiap shaf mungkin berisi hingga 12 orang, maka membuat shalat isya dan tarawih hari itu dihadiri oleh sekitar 80-an orang. Hal itu belum termasuk jamaah wanita yang tidak berada di lantai yang sama dengan jamaah pria.
Setelah menunaikan shalat Isya, shalat tarawih di Masjid Nanning terdiri dari 20 rakaat disusul tiga rakaat shalat witir. Seperti halnya di Indonesia, jamaah shalat tarawih di Masjid Nanning pun nyaris serupa.
Ada yang menggunakan baju koko, ada yang mengenakan baju gamis pria , dan tentu pula ada yang menggunakan kaos. Ada yang langsung berdiri begitu seruan shalat tarawih berikutnya terdengar, namun ada pula segelintir orang yang duduk dulu sesaat untuk kemudian berdiri ketika surat Al-Fatihah hampir selesai.
Masjid Nanning terbilang sangat nyaman untuk ukuran sebuah masjid. Karpet tebal dengan AC yang sejuk di sisi sudut membuat jamaah tidak bakal merasa gerah ketika menunaikan ibadah shalat.
Selepas shalat witir selesai, ada jamaah yang langsung pulang setelah bersalaman, tetapi ada pula yang duduk-duduk di masjid sambil berbincang-bincang. Saya dan rekan-rekan pun ikut bersalam-salaman dengan sejumlah jamaah sampai akhirnya seseorang bertanya dari mana asal kami.
"Indonesia," begitu jawab saya.
"Oh, saya juga punya teman dari Indonesia. Tadi dia ikut shalat, sebentar saya panggilkan," begitu kata pria bernama Samir Ilahi.
Samir lalu bergegas menuju pintu keluar dan kembali bersama rekannya. Ia bernama Gani Hakim, orang Indonesia yang tengah menempuh pendidikan S2 di Nanning, China.
Gani datang ke Masjid Nanning dengan menggunakan subway. Butuh waktu sekitar 45 menit baginya untuk mencapai masjid ini dari tempat ia tinggal.
Ia mengaku mencoba untuk menyempatkan diri untuk datang ke masjid untuk tarawih atau shalat Jumat. Lantaran sering datang ke Masjid Nanning, ia jadi mengenal dan akrab dengan jamaah-jamaah lain.
Bukan hanya mereka yang warga negara China, melainkan juga warga negara lain yang tengah menetap di China. Pada hari itu, Gani juga menyebut baru saja dilakukan kegiatan buka puasa bersama.
Samir, pria yang berasal dari India ini, mengakui bahwa terdapat perbedaan besar terkait kondisi di negara tempat ia berasal dengan di Nanning tempat saat ini ia tinggal.
"Di India, jika kalian jalan beberapa meter, sudah akan menemukan masjid. Sedangkan di sini, hanya ada satu masjid untuk seluruh kota," ucap Samir.
"Namun di balik itu, saya jadi bisa menemukan teman dan saudara baru di sini."
Mencermati kehidupan muslim dan Masjid di Nanning, memunculkan sebuah pelajaran berharga, setidaknya untuk saya.
Di Indonesia, dengan banyaknya masjid, terkadang hal itu membuat abai. Hubungan umat dan masjid terasa jauh, padahal berjarak dekat. Jarak domisili dan masjid hanya beberapa meter, namun kaki terasa berat.
Seperti halnya warga negara tropis yang cenderung biasa saja saat mendapat guyuran sinar matahari hangat, padahal bagi warga negara di belahan utara, itu adalah sebuah nikmat.
Melihat umat muslim di Nanning yang harus menempuh lebih banyak waktu untuk bisa shalat berjamaah, maka seharusnya hal itu jadi tamparan pengingat.
[Gambas:Video CNN] (agr)