Jakarta, CNN Indonesia --
Kebaya dan kain lilit bukanlah halangan untuk mendaki gunung, melewati lembah. Rahmi Hidayati berhasil membuktikan menggunakan kebaya, lengkap dengan kain batik lilit, dia bisa menaklukkan puluhan gunung di Indonesia.
Kebaya dan kain lilit sama sekali tak menyulitkan Rahmi yang sudah berusia 51 tahun itu menempuh perjalanan terjal, bebatuan atau tanah liat, saat mendaki gunung.
Sudah hampir lima tahun terakhir Rahmi mendaki gunung dengan kebaya dan kain lilit. Rinjani, Semeru, Gede, Ceremai, Prau, Merbabu, merupakan deretan gunung yang pernah didakinya dengan memakai kebaya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus ini, Rahmi mendaki Puncak Tugu, salah satu puncak dari Pegunungan Kendeng, di Pekalongan dengan ketinggian 2.117 Mdpl.
Saat mendaki gunung, Rahmi bakal membawa peralatan lengkap di dalam tas ransel serta memakai sepatu gunung demi keselamatan. Tatapan bingung sering dijumpainya dari pendaki lain yang seolah tak percaya ketika melihat sosok ibu berkebaya dan kain lilit mendaki hingga puncak gunung dengan ketinggian ribuan meter di atas permukaan laut.
Memakai kebaya dan kain sama sekali tak menjadi rintangan bagi Rahmi menaklukkan gunung. Kecepatan Rahmi saat mendaki gunung masih sama saat belum beranak dua atau masih berstatus mahasiswa dan aktif di Mapala UI.
"Kalau yang puncak Tugu itu, kalau bareng anak Mapala cuma 30 menit sampai di puncak. Kalau saya bawa yang lebih senior itu bisa satu jam. Ke Gunung Gede 6,5 jam saja," kata Rahmi saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com. Rahmi mengaku kain lilit sama sekali tak menghalangi langkahnya untuk menanjak. Dia tetap bisa mengangkat dan melangkahkan kaki lebar-lebar. Kuncinya, terletak pada ikatan kain lilit yang dibuat berbeda dibandingkan saat melilit kain untuk aktivitas harian.
Ikatan kain lilit itu ditemukan Rahmi saat mencoba naik gunung pertama kali dengan kebaya pada 2015 lalu.
"Pas pertama kali memang sering keserimpet, aduh ribet pokoknya. Terus saya cari pohon gede, mojok di sana, lalu benerin kain dan akhirnya bisa," ujar Rahmi.
Sedangkan kebaya yang dipakai Rahmi, merupakan kebaya berbahan kaus dengan model kutubaru atau Kartini. Kebaya ini khusus dibuatnya untuk mendaki gunung dan berolahraga agar menyerap keringat dan tidak gerah.
Awalnya, Rahmi mengaku tak kepikiran bisa naik gunung dengan berkebaya dan kain lilit. Namun, saat ke Rinjani pada 2012 lalu, dia melihat sekelompok perempuan berkebaya dengan kain sempit dan sepatu hak ke puncak gunung untuk sembahyang.
Kini, sudah tak terhitung berapa kali Rahmi naik gunung dengan kebaya. Dalam sebulan saja, dia bisa naik gunung hingga dua kali.
Mendaki gunung dengan kebaya merupakan salah satu komitmen Rahmi untuk memakai kebaya setiap hari, apapun bentuk aktivitasnya sejak 2014 lalu. Termasuk saat menjalani beragam kegiatan ekstrem yang digemarinya seperti mendaki gunung dan paralayang.
"Saya pakai kebaya terus, yang enggak pakai kebaya ya paling saat mandi," ujar Rahmi.
Rahmi merupakan pegiat komunitas Indonesia Berkebaya. Gerakan yang digaungkannya sejak 2014 itu, mengajak perempuan Indonesia untuk berkebaya setiap hari di berbagai aktivitas.
Komunitas ini dimulai ketiak Rahmi reunian bersama dengan teman-temannya dengan dresscode kebaya. Dari sana, muncul wacana untuk berkebaya setiap hari dan meluas ke seluruh Indonesia. Banyak dari anggota komunitas ini, ikut memakai kebaya setiap hari.
Bagi Rahmi, kebaya merupakan busana asli perempuan Indonesia yang dikenakan sejak zaman dahulu untuk kegiatan sehari-hari. Rahmi ingin agar kebaya kembali digunakan dalam aktivitas sehari-hari sebagai identitas Indonesia, seperti kain sari di India. Dia juga ingin menghilangkan anggapan kebaya merupakan sesuatu yang kuno dan ribet.
Kini, di tengah gempuran dunia mode internasional, perempuan berdarah Minang itu pelan-pelan merintis gerakan Indonesia Berkebaya. Dia juga menggalakkan Selasa Berkebaya atau memakai kebaya setiap hari Selasa. Ratusan perempuan ikut dalam kegiatan ini.
(ptj/chs)