
Toxic Positivity: Ucapan Semangat yang Mengandung 'Racun'
Senin, 04 Nov 2019 09:50 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Istilah 'toxic positivity' mendadak ramai jadi bahan perbincangan. Gara-garanya adalah tagar 'toxic positivity' yang sempat menjadi trending di lini masa pada beberapa waktu ke belakang.
Tagar itu menyoroti perilaku masyarakat yang kerap memaksakan seseorang untuk berpikir positif tanpa memberikan empati pada masalah yang tengah dihadapi.
Jawaban bahwa semua akan baik-baik saja menjadi solusi 'kosong' yang diberikan kebanyakan orang saat ini.
Banyak orang beranggapan bahwa berpikir positif membuat seseorang senantiasa merasa senang dan bersikap ceria.
Anggapan itu boleh jadi benar, meski tak sepenuhnya. Pada waktu-waktu tertentu, berpikir positif bisa berubah menjadi 'racun' yang membuat Anda seolah 'lari' dari masalah yang sedang dihadapi.
Istilah 'toxic positivity' merujuk pada konsep yang mengatakan bahwa berpikir positif merupakan cara tepat untuk menjalani hidup. Dengan pola pikir sedemikian rupa, artinya Anda hanya berfokus pada hal-hal positif dan menolak menerima apa pun yang dapat memicu emosi negatif.
Meski terdengar menyenangkan, namun konsep berpikir positif tak sebaik yang digambarkan.
Mengutip Psychology Today, penyangkalan terhadap emosi negatif hanya akan membuat masalah menjadi lebih besar. Dengan menghindari emosi negatif, secara tidak langsung Anda merasa tidak perlu memedulikan masalah yang tengah dihadapi.
"Ketika Anda terjebak dalam siklus ini, emosi akan menjadi lebih besar dan meningkat signifikan karena mereka [masalah atau emosi negatif] tidak diproses," tulis laman tersebut.
Perlu diketahui, secara evolusi, manusia tak punya kemampuan memprogram dirinya sendiri untuk hanya merasa bahagia dan mengesampingkan perasaan muram.
Dengan sikap menghindar tersebut, seseorang akan kehilangan kesempatan untuk belajar memproses dan mengontrol emosi. Emosi negatif membuat seseorang lebih waspada terhadap lingkungan sekitar.
"Emosi adalah informasi. Emosi memberi Anda gambaran tentang apa yang terjadi, tetapi tidak memberi tahu apa yang harus Anda lakukan," tulis laman tersebut.
Menerima emosi negatif menjadi salah satu cara yang bisa Anda lakukan. Emosi negatif membantu seseorang untuk mengatasi atau mengontrol masalah yang tengah dihadapi.
Emosi membantu seseorang memahami banyak hal. Sebagai contoh, perasaan cemas akan sebuah tugas kantor membuat seseorang mencari solusi untuk menangani rasa cemas. Alih-alih terus merasa takut, kecemasan itu menjadi perkakas untuk mendorong seseorang mengerjakan tugas kantor dengan lebih serius.
[Gambas:Video CNN] (asr/asr)
Tagar itu menyoroti perilaku masyarakat yang kerap memaksakan seseorang untuk berpikir positif tanpa memberikan empati pada masalah yang tengah dihadapi.
Jawaban bahwa semua akan baik-baik saja menjadi solusi 'kosong' yang diberikan kebanyakan orang saat ini.
Anggapan itu boleh jadi benar, meski tak sepenuhnya. Pada waktu-waktu tertentu, berpikir positif bisa berubah menjadi 'racun' yang membuat Anda seolah 'lari' dari masalah yang sedang dihadapi.
Istilah 'toxic positivity' merujuk pada konsep yang mengatakan bahwa berpikir positif merupakan cara tepat untuk menjalani hidup. Dengan pola pikir sedemikian rupa, artinya Anda hanya berfokus pada hal-hal positif dan menolak menerima apa pun yang dapat memicu emosi negatif.
Meski terdengar menyenangkan, namun konsep berpikir positif tak sebaik yang digambarkan.
"Ketika Anda terjebak dalam siklus ini, emosi akan menjadi lebih besar dan meningkat signifikan karena mereka [masalah atau emosi negatif] tidak diproses," tulis laman tersebut.
Perlu diketahui, secara evolusi, manusia tak punya kemampuan memprogram dirinya sendiri untuk hanya merasa bahagia dan mengesampingkan perasaan muram.
Dengan sikap menghindar tersebut, seseorang akan kehilangan kesempatan untuk belajar memproses dan mengontrol emosi. Emosi negatif membuat seseorang lebih waspada terhadap lingkungan sekitar.
Menerima emosi negatif menjadi salah satu cara yang bisa Anda lakukan. Emosi negatif membantu seseorang untuk mengatasi atau mengontrol masalah yang tengah dihadapi.
Emosi membantu seseorang memahami banyak hal. Sebagai contoh, perasaan cemas akan sebuah tugas kantor membuat seseorang mencari solusi untuk menangani rasa cemas. Alih-alih terus merasa takut, kecemasan itu menjadi perkakas untuk mendorong seseorang mengerjakan tugas kantor dengan lebih serius.
[Gambas:Video CNN] (asr/asr)
TOPIK TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT
Lihat Semua
BERITA UTAMA
TERBARU
LAINNYA DI DETIKNETWORK