Jakarta, CNN Indonesia --
Orang tua tentu mengharapkan yang terbaik untuk sang buah hati. Begitu pula dengan Maria Amanda Geraldine, ibu dari Meydelin (2,5 tahun) dan Maiko (hampir 1 tahun). Perempuan yang akrab disapa Dita ini mengungkapkan dirinya ingin menyekolahkan kedua buah hatinya ke sekolah internasional.
Sekolah internasional, dianggapnya punya kurikulum yang lebih mumpuni. Sejauh ini, kurikulum montessory dan Singapura cukup menarik perhatiannya.
"Contoh montessory ya, kegiatan banyak, media belajar bermacam-macam, menurut saya menyenangkan. Melatih motorik banget, bukan cuma akademis," kata Dita pada
CNNIndonesia.com melalui pesan singkat, Jumat (20/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada harapan sang buah hati bisa beradaptasi, mengikuti tuntutan dan perubahan zaman. Sebagai contoh bahasa Inggris. Menurut dia, saat anak menguasai bahasa Inggris, akses kerja maupun melanjutkan studi akan lebih mudah.
"Sempat
trial class tapi Mey belum bisa fokus sama guru. Nah, pas coba di
baby gym, Mey lebih happy, aktif dan gerakan motorik dia lebih cepat belajarnya," kata dia.
Berkaca pada hal ini, impian maupun cita-cita orang tua untuk anak tidaklah salah. Namun, jangan sampai pilihan sekolah untuk anak malah jadi cerminan ambisi orang tua, dan tak lagi menitikberatkan pada kebutuhan anak. Ini terjadi terutama pada sekolah TK maupun SD.
"Ini juga yang menyebabkan pendidikan tumbuh menjadi ladang bisnis yang menjanjikan. Untuk itu edukasi terus menerus perlu dilakukan agar orang tua semakin melek wawasannya tentang sekolah seperti apa yang sebenarnya tepat untuk anak-anak mereka," kata psikolog anak Monica Sulistiawati kepada CNNIndonesia.com pada Jumat (20/12).
Catatan buat orang tua Foto: Istockphoto/ Damircudic |
Beberapa hal yang patut diperhatikan orang tua kala memilih sekolah untuk anak. Menurut Monica, memilih sekolah terutama untuk anak yang masih sangat muda adalah jarak dan waktu tempuh. Pilihan sekolah yang terlalu jauh dan waktu tempuh lama bisa mempengaruhi mood anak. Saat mood tidak bagus, motivasi dan konsentrasi belajar bisa terganggu.
"Selain itu jarak yang lebih dekat dan waktu tempuh yang lebih sebentar memungkinkan anak untuk memiliki waktu istirahat yang lebih panjang untuk menunjang tumbuh kembang mereka yang lebih optimal, terutama dalam hal perkembangan kemampuan kognitif mereka," jelasnya.
Kedua, lingkungan pergaulan termasuk kelas sosial ekonomi peserta didik. Jangan sampai memaksakan anak masuk ke sekolah yang kelas sosial- ekonominya berbeda.
Menurut Monica ini bisa mempengaruhi lingkungan pergaulan dan cara anak bergaul. Dia memberikan contoh anak berada di lingkungan pergaulan dengan kelas sosial-ekonomi jauh di atasnya. Bukan tidak mungkin anak akan minder dan merasa kurang dengan dirinya.
Ketiga, visi, misi, kurikulum dan nilai-nilai yang diutamakan sekolah. Sekolah diharapkan memiliki visi, misi, kurikulum dan nilai yang sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki dalam keluarga.
"Perhatikan juga infrastruktur, sarana, dan prasarana yang dimiliki sekolah, misalnya dalam hal kebersihan dan keamanan," kata Monica.
Dia menambahkan orang tua pun bisa memanfaatkan momen open house sekolah. Selain melihat sendiri fasilitas dan kondisi sekolah, orang tua bisa menemui guru maupun konselor mengenai detail informasi yang diperlukan.
Orang tua pun bisa mengungkapkan kekhawatiran terkait anak. Sebagai contoh orang tua khawatir anak tidak bisa bergaul. Kemudian tanya pada sekolah bagaimana mereka bisa membantu anak untuk beradaptasi.
Dengarkan suara anakPemerhati anak, Seto Mulyadi menuturkan hal yang jangan sampai terlupa adalah 'suara' anak. Dirinya menekankan bahwa anak musti dilibatkan dalam pengambilan keputusan apalagi menyangkut sekolah mereka.
"Saya buka sekolah dari 1982, saya selalu pesan ke orang tua, jangan ajak anak masuk sini karena dipaksa," katanya pada
CNNIndonesia.com saat dihubungi melalui telepon, Rabu (18/12).
Pria yang akrab disapa Kak Seto ini menganjurkan pada orang tua untuk mengajak anak diskusi. Saat menemukan sekolah yang kira-kira orang tua cocok, ajak anak untuk survei. Saat survei, anak akan melihat sendiri bagaimana lingkungan sekolah, para pengajar juga kegiatan sekolah.
Jika memang anak tidak cocok, ajak untuk melihat sekolah lain. Dalam diskusi, berikan pula pengertian pada anak jika memang sekolah yang disukai anak kurang sesuai dengan dana yang ada.
"Pilihan sekolah tak selalu sekolah formal. Masih ada sekolah informal dan nonformal. Kita punya program wajib belajar bukan wajib sekolah, tidak semua anak yang sekolah itu belajar dan tidak semua anak musti belajar di sekolah," jelasnya.
Di samping itu, kata dia, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) bisa dilakukan di rumah. Program prasekolah fokus pada mengasah kemampuan bersosialisasi anak. Saat anak usia 7 tahun dan siap, dia bisa masuk SD.
"Ada PAUD yang murah meriah, tidak apa-apa. Jangan sampai anak masuk TK sekadar karena gengsi. Tujuan utama TK adalah bermain sebanyak mungkin, berteman banyak," ujarnya.
Artikel ini merupakan bagian dari Fokus 'Lika-liku Pilih Sekolah Anak' (els/ayk)