Jakarta, CNN Indonesia -- Neraka. Istilah ini digunakan Mark Bucke, salah satu warga Mogo, New South Wales, Australia, untuk menggambarkan kondisi
Australia kebakaran hutan (
karhutla). Situasi layaknya perang. Bahan pangan menipis, asap mengganggu pernapasan hingga minimnya jarak pandang.
"Ini seperti ketika ada perang atau sesuatu. Anda tidak bisa mendapatkan apa yang biasanya mudah didapatkan," kata Bucke mengutip dari AFP.
Kebakaran kemungkinan masih terus terjadi. Hingga kini tercatat 18 hektar lahan terbakar dengan 24 jiwa melayang. Australia jelas bakal memiliki 'pekerjaan rumah' lumayan banyak mulai dari pemulihan kondisi fisik wilayah hingga kondisi mental warganya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Anda tak hanya berduka atas kehilangan tetapi juga berduka atas negara Anda," kata Diane Ross-Glazer, psikoterapis di California, AS seperti dikutip dari Time.
Bukan cuma itu, karhutla Australia ini juga menimbulkan ancaman baru di negeri kangguru tersebut, kesehatan mental. Bencana akan melahirkan trauma pada mereka yang mengalami maupun pada mereka yang menyaksikan dan mengetahui perihal bencana. Berdasar American Psychological Association (APA) duka, stres dan rasa takut bisa mengakibatkan perubahan perasaan (
mood swing), depresi, dan rasa tegang saat teringat akan tragedi.
Menurut Gerard Jacobs, direktur emeritus dari Disaster Mental Health Institute, University of South Dakota stres traumatis adalah reaksi biasa terhadap keadaan luar biasa. Ini tidak selalu berubah menjadi gangguan psikologis. Namun peristiwa tak terduga, besar atau sangat mematikan termasuk kebakaran Australia sangat mungkin memicu stres.
Secara alami stres seperti ini akan hilang dalam empat hingga enam minggu. Buat mereka yang mengalami proses lebih lama disarankan untuk mencari pertolongan profesional.
 Foto: Dean Lewins/AAP Images via AP karhutla di Australia menyebabkan trauma |
Jadi pelajaranDemi upaya memulihkan kondisi akibat kebakaran, pemerintah Australia telah mengucurkan dana sebesar 2 miliar dolar Australia atau sekitar Rp18 triliun. Dana ini dikelola oleh National Bushfire Recovery Agency untuk pemulihan kondisi ekologis, infrastruktur dan kondisi mental warga.
Sementara api masih menyala, badan-badan pemerintah menunjuk orang yang mengalami tekanan mental akut menghubungi sambungan bantuan krisis dan pusat bantuan darurat.
Murray Wright, kepala psikiater untuk wilayah New South Wales menyebut stafnya bekerja dengan memprioritaskan waktu untuk mereka yang berada di area terdampak berat dan fokus pada orang yang rentan serta punya riwayat masalah kesehatan mental. Ke depan, bakal ada kebutuhan untuk membentuk layanan konseling selama 24 bulan. Kebutuhan ini krusial untuk mereka yang ingin memonitor kondisinya.
Akan tetapi, upaya ini bukan hal yang mudah.
Kebakaran hebat baru-baru ini bukan yang pertama dialami Australia. Pada Februari 2009, kebakaran pernah melanda wilayah Victoria, Australia dan memakan korban hingga 173 jiwa. Situasi mencekam ini masih terekam jelas dalam benak warga Australia. Mereka menyebut peristiwa ini sebagai 'Black Saturday'.
Sebuah studi yang dipublikasikan pada 2014 mengenai tiga tahun pascatragedi menemukan sebanyak 15 persen mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), 13 persen mengalami depresi dan 25 persen jadi peminum berat.
Di samping menuai trauma, kebakaran hebat di Victoria membuat otoritas setempat mengembangkan
blueprint sebagai panduan dukungan kesehatan mental pascatragedi. Dukungan termasuk program training untuk konselor di sekolah, grup penyokong untuk keluarga dan penawaran voucher untuk konseling gratis dan layanan kesejahteraan lain.
 Foto: AP Photo/Rick Rycroft kebakaran hutan di Australia |
"Di Victoria kami tahu bahwa pemulihan mental tidak semudah pemulihan infrastruktur. Ini sesuatu yang tidak bisa dilakukan dalam hitungan bulan, tetapi tahun dan kami perlu mendukung orang dan kesehatan mental mereka dalam melalui trauma," kata Luke Donnellan, pejabat menteri negara bagian untuk kesehatan mental.
[Gambas:Video CNN] (els/chs)