Jakarta, CNN Indonesia -- Setelah Rancangan Undang-Undang
(RUU) Ketahanan Keluarga beredar di media sosial, beberapa pasalnya menuai kritik. Tak jarang juga cemooh. Karena negara mengatur hal-hal yang seharusnya menjadi kebebasan pilihan masing-masing warga. Sebut saja soal cara mendidik anak,
berumah tangga, juga soal aktivitas
seksual.
Salah satu yang mengemuka adalah sadism dan masochism. Kedua aktivitas seks ini dikategorikan sebagai penyimpangan seksual. Betul belaka, Pedoman Penggolongan Diagnosa Gangguan Jiwa (PPDGJ) III mengelompokkan kedua hal itu dalam kelainan seksual atau parafilia.
Sadisme dan masokisme akan termasuk kekerasan seksual jika salah satu pasangan tidak setuju namun dipaksa. Dan ini bisa dikenakan tindak pidana dengan UU PKDRT.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi apabila pasangan melakukan dengan persetujuan dan kesepakatan satu sama lain dalam kerangka BDSM, menurut seksolog Zoya Amirin, hal tersebut tak lagi bisa digolongkan sebagai penyimpangan seksual.
"Kalau ada BD-nya itu sudah bukan penyimpangan seksual. Karena mereka ada consent. Tidak boleh sampai meninggal dunia, tidak boleh memberikan rasa sakit tanpa rasa nikmat. Mereka itu mesti banyak-banyak membahas itu biasanya, membahas rasa sakit," terang Zoya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon.
Bahkan di negara tertentu, praktik BDSM harus didahului dengan mengikuti rangkaian pelatihan untuk memastikan keselamatan dan keamanan. BDSM merupakan kependekan dari
Bondage and Discipline,
Dominant and Submission dan,
Sadism and Masochism.
BD yang dimaksud Zoya adalah
Bondage dan
Discipline dalam praktik BDSM.
"Itu ada ikatannya, biasanya mereka pakai tali. Di mana ketika mengikat itu mereka punya aturannya, punya
Discipline-nya. Di mana ikatan itu harus merangsang, bukan menyakiti. Mereka itu punya batasan, punya
safeword," sambung dia lagi.
Tapi selayaknya pada hubungan lain, relasi BDSM juga berpotensi memunculkan
abuse atau jenis kekerasan. Di sinilah menurut Zoya perlu pendampingan khusus.
"Ketika dia sudah tidak dengan
consent [maka sudah termasuk
abuse]. Mereka punya aturan main yang nggak boleh dilanggar, [ketika itu dilanggar] maka mereka kembali masuk penyimpangan. Karena itu, menjadi tanggung jawab psikolog atau psikiaternya [untuk menemani], kalau urusan itu diambil negara,
yaelah ribet amat negara ini."
BDSM vs AbusePraktisi BDSM, Qyla Louzierein tak menampik dalam relasi BDSM, mungkin saja seseorang akan mendapatkan luka. Tapi ia mengingatkan, hal tersebut dimungkinkan tapi tetap dengan batasan. Mengingat dalam praktik BDSM, penggunaan rasa sakit memang jadi salah satu faktor mencapai kepuasan.
Pertanyaannya, bagaimana jika sampai terluka?"Misalnya, MMA deh
Mixed Martial Art, mereka di dalam arena pukul-pukulan sampai berdarah-darah, apakah itu kriminal?
Enggak kan. Mengapa? Karena ada terms and condition, ada rule yang mengatur. Persis sama kayak BDSM. Kalau berdarah-darah, monggo, tapi harus ada penanganan medisnya. Harus tahu kapan mulai dan kapan berakhir. Harus ada cek persetujuan dulu," jelas dia menganalogikan.
Karena itu ketika menyadari kompleksitas BDSM dan sangkut pautnya dengan keselamatan, maka praktik harus dilengkapi dengan perjanjian kesepakatan. Selayaknya perjanjian pranikah atau perjanjian hukum lainnya, terdapat beberapa klausul yang disepakati dan atas persetujuan kedua belah pihak atau
consent.
Sebelum sampai membuat kesepakatan, masing-masing pasangan akan memastikan keamanan baik dari segi medis maupun psikologis. Dalam praktik BDSM yang sehat hal ini dikenal dengan SSC (
Safe, Sane and Consensual).
"Baik sub maupun dom, mereka harus ada di level yang setara sebelum mereka
agree untuk menjadi sub and dom. Jadi sebelum ada label sadis and masokis, mereka harus diskusi secara setara; ini yang saya mau, ini yang saya tidak mau. Mereka harus bertemu di tengah-tengah. Masalahnya kalau
abuse,
abuse itu tidak ada persetujuan," jelas Qyla Louzierein selaku praktisi BDSM.
Dalam membuat kesepakatan atau persetujuan masing-masing pihak harus dalam keadaan sadar. Jika salah satu membuat seseorang menyetujui dengan cara memaksa atau memanipulasi, maka hubungan ini sudah tergolong
abuse atau jenis kekerasan.
"Ketika kita
black mailing, mengancam seseorang untuk menyetujui sesuatu, itu
abuse," ujar Qyla.
"Jadi sebenarnya, kaidah KDRT [Kekerasan dalam Rumah Tangga] di Indonesia itu adalah
abuse. Sisanya, adalah BDSM.
If we think about it ya," sambung dia lagi.
Qyla menuturkan, setiap pasangan juga harus menanyakan dan meminta persetujuan satu sama lain saban hendak melakukan sesuatu. Baik berupa aktivitas seks ataupun hal lain yang disepakati dalam relasi.
Ia mengakui saat menjalani praktik BDSM ini, dirinya lebih banyak berdiskusi dengan pasangannya. Sampai-sampai hal sekecil apapun dalam keseharian biasanya serba dimintakan persetujuan.
"Gampang [mengetahui bahwa BDSM ini sudah
abuse]. Satu, kita tanya ke orangnya, 'kamu bersedia
nggak?' Kalau nggak bersedia tapi itu masih dilakukan, berarti itu
abuse," tukas Qyla saat ditemui
CNNIndonesia.com di kawasan Jakarta Pusat.
Meski menjadikan rasa sakit sebagai sarana untuk mencapai kepuasan, bukan berarti lantas mengaburkan praktik BDSM dengan abuse (kekerasan). Berikut tanda yang bisa Anda kenali ketika praktik BDSM sudah mengarah ke
abuse:
1. Menimbulkan kerusakan fisik atau mental, dan atau emosional, atau untuk menyakiti orang lain.
2. Sepenuhnya mengambil alih kuasa dari orang lain.
3. Tidak saling mengetahui, tidak ada satupun yang pernah bernegosiasi atau menyatakan persetujuan mengenai tindakan yang dilakukan.
4. Menciptakan kekhawatiran dan ketakutan pasangan.
5. Menghancurkan kepercayaan dan rasa mempercayai dalam bentuk apapun.
6. Melakukan tindakan kejahatan dan kekerasan ke orang lain.
7. Tidak ada komunikasi dan kondisi saling mendukung.
[Gambas:Video CNN] (nma/nma)