Jakarta, CNN Indonesia -- Banyak orang menganggap kalau Jakarta Utara identik dengan lalu lintasnya ruwet dan catatan kriminalnya yang panjang.
Tapi bagi saya yang baru genap dua bulan pindah dari Batam ke Jakarta, tidak percaya begitu saja. Karena menurut saya di tengah keruwetan suatu kota, pasti tetap ada saja sudutnya yang menghibur.
Sekilas saya baca di internet, kawasan yang berbatasan langsung dengan laut ini menyimpan beragam potensi wisata yang menarik untuk pilihan berlibur di dalam kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada akhir bulan Januari kemarin, saya mencoba untuk berwisata di pesisir Jakarta Utara.
Cuaca hari itu cukup cerah. Berbekal aplikasi peta digital, sekitar pukul 08.00 WIB saya bertolak dari indekos di Manggarai menuju tempat wisata di Jakarta Utara yang pertama.
08.35 - Museum BahariPerjalanan menggunakan sepeda motor dari Manggarai menuju Museum Bahari yang berada di Jalan Pasar Ikan, No 1, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, saya tempuh dengan waktu sekitar 32 menit.
Saya adalah pengunjung pertama di Museum Bahari pada pagi itu.
Untuk ukuran masuk ke tempat wisata museum, harga tiket ke Museum Bahari sangat murah, saya hanya perlu mengeluarkan kocek sebesar Rp5.000. Setelah membayar tiket masuk, saya mulai berkeliling ditemani seorang pemandu.
Bangunan ini dibangun pada 1652 dan telah mengalami beberapa kali renovasi. Semua koleksi museum berhubungan dengan dunia kebaharian.
 Museum Bahari. (Istock/dennisvdw) |
Museum Bahari punya tiga gedung, yakni gedung A, gedung B, dan gedung C. Namun, koleksi museum hanya ada di gedung A dan B, sebab, gedung C sedang dalam renovasi setelah mengalami kebakaran beberapa tahun lalu.
Di gedung A, berbagai macam koleksi yang berhubungan dengan pelayaran nusantara, seperti miniatur kapal-kapal nusantara, perlengkapan pelayaran, meriam, alat navigasi, peta pelayaran dan beberapa koleksi lainnya dipamerkan.
Di gedung ini juga terdapat patung-patung pedagang, pelayar, penjelajah yang pernah singgah ke Indonesia.
Sambil berkeliling di gedung A, saya mendapat informasi dari pemandu yang menemani, bahwa sebelum diresmikan menjadi museum pada 1977, bangunan museum bahari merupakan gudang penyimpanan rempah-rempah yang digunakan pada zaman pendudukan Belanda di Indonesia.
Rempah-rempah ini disimpan sebelum diangkut ke negara-negara lainnya.
Sekitar 50 meter dari Museum Bahari, terdapat sebuah menara, yakni Menara Syahbandar. Menara ini digunakan untuk mengawasi dan mengontrol kapal-kapal yang masuk ke pelabuhan.
Menara Syahbandar. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Puas berkeliling dan mengabadikan beberapa momen di gedung A, saya diajak oleh pemandu untuk ke gedung B dan melihat berbagai macam koleksi hewan dan tumbuhan laut.
Saya cukup kaget, ternyata, tidak hanya replika dan miniatur saja yang dipamerkan di museum ini, ada juga koleksi perahu-perahu asli nusantara, salah satunya adalah perahu Cadik Nusantara, sebuah perahu yang dibawa oleh petualang Effendy Soleman dalam beberapa petualangan mengarungi laut.
Sebagai orang yang awam dengan dunia kebaharian, saya merasa kagum melihat perahu-perahu asli nusantara yang masih tersimpan dengan baik di Museum Bahari.
Kunjungan saya ke Museum Bahari pagi itu bak tur privat, sebab, meski memiliki banyak koleksi maritim, museum ini seperti kekurangan peminat.
Sepanjang saya berkeliling, saya hanya bertemu dengan pengunjung ibu-ibu dan anak perempuannya yang tampak bingung melihat koleksi-koleksi di sana.
09.30 WIB - Kampung Luar BatangMelanjutkan lancong di Jakarta Utara, saya menuju Kampung Luar Batang,
Sekitar 2 KM dari Museum Bahari. Luar Batang adalah sebuah kampung padat pemukiman dengan gang-gang sempit yang terletak di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa.
Di kampung ini, terdapat sebuah masjid penuh sejarah yang ramai dikunjungi oleh peziarah dan wisatawan, yakni Masjid Luar Batang.
Tidak sulit mencarinya, dari kejauhan sudah terlihat dua menara tinggi yang mencuat dari bangunan-bangunan rumah warga yang menjadi petunjuk bagi saya.
 Para peziarah di Masjid Luar Batang. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Masjid Luar Batang ramai dikunjungi karena di selasarnya terdapat dua buah makam para penyiar agama Islam di Indonesia.
Yang pertama, makam warga Yaman dan meninggal di Indonesia yakni, Habib Husein Bin Abubakar Alaydrus. Lalu makam muridnya, Abdul Kadir.
Pagi itu, suasana tenang menyambut kedatangan saya di masjid yang telah mengalami renovasi beberapa kali ini.
Di dalam masjid terlihat belasan orang-orang yang tengah khusuk beribadah, sementara di sekitar makam Habib Husein, dikelilingi orang-orang yang berziarah dan berdoa.
Di bagian luar masjid terlihat penjaja makanan dan minuman sabar menunggu pembeli.
 Penjaja buah tangan di Masjid Luar Batang. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Jumlah orang yang datang ke masjid ini bisa mencapai ribuan saat malam Jumat atau saat hari-hari besar Islam.
Tidak hanya pengunjung dalam negeri, Masjid Luar Batang juga menjadi tujuan peziarah dari luar negeri.
Dari informasi yang saya dapatkan, dahulu, masjid tersebut bernama Masjid An-Nur, nama Luar Batang diberikan karena peristiwa yang terjadi saat Habib Husein wafat sekitar tahun 1750-an.
Konon saat wafat dan hendak dikuburkan di sekitar Tanah Abang, sesampainya di lokasi penguburan, tiba-tiba jenazah Habib Husein sudah keluar dan tidak ada di dalam "kurung batang", dan kembali ke tempat yang digunakannya untuk beristirahat dan mengajar semasa hidup.
Kejadian tersebut berlangsung hingga tiga kali, dan akhirnya warga sepakat untuk memakamkan jenazah Habib Husein di tempatnya sekarang.
Bagi orang yang suka berwisata religi, Masjid Luar Batang bisa menjadi pilihan yang tepat untuk menjauh dari kebisingan kota, beribadah, maupun berziarah ke makam yang ada di sana.
10.30 WIB - Kampung TuguMatahari pagi sudah meninggi saat saya meluncur ke tempat tujuan selanjutnya, Kampung Tugu, yang terletak di Semper Barat, Kecamatan Cilincing.
Panas terik plus debu jalanan yang terhempas saat truk besar melintas menemani perjalanan saya. Ini baru Jakarta Utara, begitu canda saya dalam hati.
Kampung Tugu memiliki sejarah yang panjang, didirikan sekitar abad ke 16 oleh VOC, pasca kemenangan Belanda atas Portugis di Malaka. Ratusan orang dari keluarga Portugis ditempatkan di Kampung ini.
Saya cukup beruntung saat mengunjungi Kampung Tugu siang itu dan bertemu Martinus Cornelis, seorang pria berbadan tinggi dengan warna kulit gelap. Martinus merupakan keturunan Portugis yang sudah hidup di Kampung Tugu sejak lahir.
Dari penuturannya, kini, ada 6 fam (marga) Portugis yang masih bertahan di Kampung Tugu, yakni, Andreas, Abraham, Cornelis, Browne, Quiko, dan Michiels.
Seiring perjalanan waktu, terjadi pernikahan antarsuku, serta praktik jual beli tanah yang membuat penduduk keturunan Portugis di sini pindah ke tempat lain.
Saya diajak berkeliling untuk melihat salah satu bangunan tertua yang menjadi landmark di Kampung Tugu, yakni Gereja Tugu.
Gereja ini dibangun sejak awal Kampung Tugu didirikan dan telah mengalami beberapa kali renovasi. Meski begitu, ada bagian-bagian dari bangunan gereja yang masih asli dan belum pernah diganti, seperti pintu dan jendela gereja.
Gereja ini mampu menampung 200-300 jemaat. Di samping gereja, terdapat sebuah lonceng yang disebut Lonceng Tugu. Namun, lonceng tersebut sudah diganti dengan yang baru karena yang asli sudah rusak.
Di kawasan gereja juga terdapat pemakaman, pemakaman ini khusus diisi oleh jenazah dari warga asli Kampung Tugu yang bermukim. Makam tidak terbuka oleh warga pendatang dan bukan keturunan Portugis.
Selain menikmati arsitektur gereja, para wisatawan yang datang juga bisa menikmati Keroncong Tugu dan prosesi adat yang digelar pada waktu-waktu tertentu.
12.30 WIB - Rumah Si Pitung Rumah Si Pitung. (CNN Indonesia/Gilang Fauzi) |
Berkendara sekitar 20 menit dari Kampung Tugu, saya sampai di sebuah rumah panggung di wilayah Marunda yang dikenal dengan Rumah Si Pitung.
Rumah Si Pitung cukup ramai siang itu. Rombongan ibu-ibu asik berfoto dengan latar belakang rumah, beberapa pemuda pun terlihat tak mau kalah bergaya.
Meski cuaca panas, angin sepoi-sepoi yang berhembus membuat suasana sekitar menjadi sejuk.
Saya masuk untuk melihat ke dalam rumah panggung berwarna coklat tua ini dengan menaiki sebuah tangga sempit di sebelah kanan rumah.
Sampai di teras, sebuah patung tak berwajah mengenakan pakaian khas jawara Betawi cukup mengangetkan saya.
Selain patung itu, di teras rumah juga terdapat empat buah kursi dan meja lengkap dengan toples di atasnya.
Saya masuk lebih ke dalam, terdapat ruang tidur dengan ranjang berkelambu khas zaman dahulu, namun ada pembatas yang membuat saya tidak bisa masuk lebih ke dalam ruangan itu.
Setelah kamar tidur, terdapat dapur lengkap dengan peralatannya serta ruang tamu dengan beberapa perabotan khas zaman dahulu.
 Interior dalam. (CNN Indonesia/Gilang Fauzi) |
Konon Si Pitung sendiri tidak pernah tinggal di tempat ini. "Robin Hood Betawi" itu hanya beberapa kali singgah sewaktu dikejar Belanda.
Rumah tersebut adalah milik Haji Saipudin yang konon merupakan teman Si Pitung.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta telah membeli bangunan tersebut dan menetapkannya sebagai Cagar Budaya.
Meski telah mengalami beberapa kali renovasi, model asli bangunan tersebut tetap dipertahankan.
Di kompleks Rumah Si Pitung, terdapat dua bangunan lainnya yang difungsikan sebagai aula, musholla, serta kantor.
Dengan harga tiket masuk hanya Rp5.000, pengunjung juga bisa menikmati kesenian Gambang Keromong dan tari-tarian yang digelar setiap Sabtu dan Minggu di sini.
16.30 WIB - Pelabuhan Sunda Kelapa Jajaran kapal bersandar di Pelabuhan Sunda Kelapa. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Hari mulai beranjak sore. Setelah beristirahat dan makan siang, saya melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Sunda Kelapa.
Lokasinya sebenarnya tidak terlalu jauh dari Museum Bahari yang saya datangi pagi tadi, namun waktu terbaik untuk datang ke tempat ini adalah sore hari.
Pemandangan tak biasa menyambut kedatangan saya sore itu. Tak seperti pelabuhan pada umumnya, saya melihat kapal-kapal laut kayu tradisional, yang berjejer rapi sepanjang sekitar 1 km di sisi kiri dermaga.
Aktivitas pekerja yang menaikkan dan menurunkan muatan pun terlihat di pelabuhan yang telah berusia ratusan tahun itu.
Setelah memarkirkan motor, saya menyusuri dermaga dengan berjalan kaki.
 Pelabuhan Sunda Kelapa biasanya juga dijadikan lokasi salat Ied oleh warga sekitar. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Di antara kapal-kapal besar yang tertambat rapi, saat melihat dua buah sampan menepi mendekati saya. Seorang pria yang kemudian saya ketahui bernama Adi, menegur dan menawarkan saya untuk naik ke sampannya.
Adi salah satu penyedia jasa sampan yang biasanya mengantarkan wisatawan menyusuri dermaga yang panjang hingga mendekati laut lepas.
Ia menawarkan Rp50 ribu untuk satu putaran menyusuri dermaga. Namun karena sudah terlalu sore, saya menolak tawarannya.
Dikatakan Adi, Pelabuhan Sunda Kelapa memang kerap dikunjungi para pemburu foto beberapa tahun belakangan ini. Sabtu dan Minggu adalah waktu paling ramai.
Selain bisa menaiki perahu dan berfoto, biasanya pengunjung datang sekadar duduk-duduk menikmati senja.
Jejeran kapal yang tertambat, aktivitas pekerja yang sibuk bongkar muatan dan semburat matahari sore memang menjadi objek foto yang menarik di tempat ini.
19.00 WIB - Sentra Perikanan Muara AngkeMalam harinya, saya mendatangi Sentra Perikanan Muara Angke, sekitar 15 menit dari Pelabuhan Sunda Kelapa.
Geliat pasar tampaknya baru mulai saat saya datang. Pemandangan bongkar muat para nelayan yang baru menepi terlihat malam itu.
Tempat ini adalah surganya pecinta wisata kuliner hidangan laut. Saya berkeliling sekitar 15 menit di tempat dengan konsep pasar semi outdoor ini.
Beberapa kali, saya ditawarkan oleh pedagang untuk membeli berbagai jenis hewan laut, namun saya memutuskan tidak membeli karena bingung untuk mengolahnya nanti.
Setelah bertanya ke beberapa orang, tidak jauh dari pasar terdapat foodcourt yang menjual berbagai jenis seafood.
Karena perut sudah lapar, saya memutuskan ke sana. Malam itu, foodcourt cukup ramai. Dari parkiran motor, sudah tercium aroma ikan bakar yang membuat saya menelan ludah.
 Muara Angke juga menjadi sentra produksi ikan asin di Jakarta. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Foodcourt tersebut tidak begitu besar. Ada lebih dari 30 tempat makan olahan seafood dari beragam citarasa.
Karena lapar saya mencari tempat yang agak sepi, dengan harapan agar hidangan cepat datang.
Menu ikan berbagai jenis di foodcourt tersebut bervariasi, mulai dari Rp80 ribu sampai Rp125 ribu.
Untuk minuman, harga yang ditawarkan sekitar Rp5.000 sampai Rp20 ribu.
Malam itu, saya memesan satu porsi ikan gurame bakar lengkap dengan nasi serta sambal terasi, sambal matah, serta sambal mangga.
 Menu yang dipesan. (CNNIndonesia/Yogi Anugrah) |
Setelah menunggu sekitar 30 menit, hidangan pun tiba. Saya cukup kaget, karena ikan gurame yang saya dapatkan ternyata dua ekor dengan bentuk yang besar.
Penjual beralasan sengaja memberi saya bonus ikan agar ingat untuk datang ke warungnya lagi kalau berkunjung ke Muara Angke.
Dari rasanya, ikan gurame bakar tersebut cukup gurih dan empuk. Bagi saya yang menyukai pedas, sambal yang disajikan pun pas di lidah meski membuat saya sedikit berkeringat.
Satu jam makan dan bersantai sebentar, saya memutuskan untuk pulang.
Perjalanan berkeliling Jakarta Utara hari itu saya tutup dengan membawa satu plastik berisi ikan gurame bakar yang tidak sanggup saya habiskan sendirian.
(ard)