Jakarta, CNN Indonesia -- Merebaknya kasus wabah
corona di Indonesia tak dimungkiri membuat beberapa orang mengalami pembelian panik atau
panic buying.Ketua Pusat Krisis UI Dicky Palupessy mengungkapkan perilaku membeli barang secara berlebihan dalam satu waktu atau panic buying di tengah merebaknya wabah virus corona (Covid-19) didasari oleh kecemasan yang tinggi. Kata dia, hal itu merupakan gejala perilaku setiap manusia yang memang dikaji dalam disiplin ilmu psikologi.
"Merebaknya virus corona mengakibatkan kita kehilangan untuk mengendalikan perasaan diri atau kehilangan sense of control," kata Dicky saat konferensi pers di Kantor BNPB, Jakarta, Minggu (22/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dalam kondisi kehilangan
sense of control, maka membeli secara berlebih itu mekanisme psikologis," sambung dia.
Dicky berujar, di tengah kecemasan akan menyebarnya virus-- ditambah belum ditemukannya obat-- manusia cenderung bertindak cepat menuruti kata hati tanpa pikir panjang.
"Secara psikologis, merebaknya virus corona menguatkan pikiran kita akan kematian. Ketika kita diingatkan tentang kefanaan tersebut, maka orang bisa menjadi lebih impulsif, termasuk impulsif pada membeli barang," pungkasnya.
Apalagi, kata Dicky, informasi keliru, tidak akurat dan tidak meyakinkan yang berkembang di tengah ancaman virus mengakumulasi rasa takut setiap orang terhadap tindakannya dalam membeli barang.
"Seperti, apakah stok barang cukup, apakah tempat menjual barang dan komoditas tersebut buka atau tidak," ucap dia.
Hal ini sejalan juga dengan pendapat Steven Taylor, penulis dan psikolog klinis. Dikutip dari
CNN, ketika orang mendengarkan pesan yang bertentangan tentang risiko virus dan seberapa serius mereka harus bersiap, orang cenderung mengambil jalan yang ekstrem.
"Ketika orang diberitahu ada sesuatu yang berbahaya akan datang, tetapi yang perlu Anda lakukan hanyalah mencuci tangan, tindakan itu tampaknya tidak sebanding dengan ancaman itu. Bahaya khusus membutuhkan tindakan pencegahan khusus," jelasnya.
Dalam kondisi ini, Dicky yang juga merupakan Wakil Sekretaris Jenderal Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) menyatakan
panic buying juga muncul karena manusia merasakan adanya tekanan sosial, yakni menjadikan apa yang dilakukan orang lain sebagai dasar penilaian untuk setiap tindakan yang akan diambil.
"Sehingga, jika orang mempersepsikan semua orang membeli dan menumpuk barang, maka akan terdorong melakukan hal yang sama," ujarnya lagi.
Taylor juga mengungkapkan bahwa Percaya atau tidak, kepanikan itu menular, begitu pula dengan panic buying. Media massa melaporkan rak-rak kosong di supermarket, kelangkaan barang dan komentar orang yang panik membeli barang sehingga ini memicu orang untuk melakukan hal serupa.
Taylor menjelaskan manusia sebagai makhluk sosial saling memberikan isyarat untuk apa yang aman dan apa yang berbahaya.
"Dan ketika Anda melihat seseorang di toko, panik membeli, itu dapat menyebabkan efek penularan rasa takut," ujarnya.
Mengatasi hal tersebut, Dicky memberikan sejumlah tips agar masyarakat tidak perlu melakukan panic buying. Pertama, saran dia, membuat pikiran tetap berada di atas tingkat kecemasan.
"Dalam arti berupaya mengatasi dan mengendalikan kecemasan. Serta hanya bertindak berdasarkan informasi resmi dan benar," jelasnya.
Pemerintah, kata dia, juga harus menyediakan bukti sosial konkret berupa persediaan logistik yang tersedia. Hal itu agar masyarakat merasa yakin dan tidak perlu membeli secara berlebihan.
Di samping itu, Dicky juga mengusulkan transparansi pemerintah dalam hal penanganan virus corona (Covid-19).
"Cara kedua, perlu dicegah menularnya kekhawatiran sosial atau massal. Untuk itu, perlu adanya kita sebut bukti sosial yang menunjukkan bahwa tidak terjadi perilaku panic buying," jelasnya.
Dicky menambahkan, Pemerintah juga mengeluarkan imbauan bagi pelaku usaha ritel agar meratakan distribusi dan tidak menaikan harga.
"Saya berharap tindak tegas kepada oknum yang menimbun pasokan barang yang memicu kenaikan harga," imbuh dia.
(ryn/chs)