Love Story: Ku Rangkai Doa Untuk Oma dari Ruang Isolasi

CNN Indonesia
Kamis, 26 Mar 2020 15:05 WIB
Ini cerita Daniel, saat harus ikhlas melepas oma tanpa pemakaman layak seperti yang semestinya karena wabah corona.
Corona mengubah segalanya, termasuk bagaimana Daniel melepas orang yang paling berarti. (IStockphoto/ninjaMonkeyStudio)
Jakarta, CNN Indonesia --

Senin (23/3), oma meninggal dunia. Meski saya bukan orang yang mudah menangis karena berita duka, kali ini berbeda. Tetes air mata saya menyimpan kesedihan yang mendalam. 

Bukan, bukan hanya karena tak akan ada lagi oma yang sehari-hari bercanda atau bahkan memasak bekal untuk saya bawa ke kantor, tapi karena saya tak bisa melepasnya dengan layak seperti seorang cucu dan keluarga dekat pada umumnya.

Tak ada bendera kuning atau lengkingan sirene ambulans yang mengantarnya ke peristirahatan terakhir diiringi hujan rintik-rintik. Tak ada lantunan doa atau ibadat pelepasan layak yang kami nyanyikan untuk melepasnya pergi ke pangkuan Yesus di surga.

Hanya saya, mama, adik, dan om, hanya bisa terisak dari jauh sembari mencoba mengingat kenangan terakhirnya bersamanya beberapa waktu lalu. Hanya kami keluarga dekatnya yang hadir, ditemani beberapa petugas dari dinas kesehatan dan penggali makam setempat. Sunyi, hati saya teriris menangisi kepergiannya tanpa pernah sempat melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.

Sebagai anak lelaki pertama, seharusnya saya seharusnya menguatkan hati mama, tapi apa daya membayangkan tubuh kecil oma yang harus dibungkus plastik dan tertutup peti kayu. Ya, tubuhnya dibungkus plastik, bukan dibalut dengan gaun putih yang sudah dipersiapkannya sejak lama sebelum dia meninggal. Itu keinginannya, dia ingin dimakamkan sambil memakai gaun putih favoritnya. Tapi apa daya, itu tak bisa terwujud.

ilustrasi paru-paruFoto: Istockphoto/yodiyim
ilustrasi paru-paru


Tapi sudahlah, saya tetap menyerahkan baju itu kepada petugas. Baju putih itu akhirnya hanya bisa diletakkan di dalam peti mati oma. Hai Oma, setidaknya cucumu ini sudah berusaha ya.

Jenazah oma yang tertutup dalam peti mati ini diangkat oleh petugas dari dinas kesehatan. Beruntung saya dibantu oleh petugas dinkes dengan APD lengkap dan penggali makam setempat untuk memakamkan oma. Saudara-saudara satu Gereja juga banyak membantu, meski tak bisa hadir mengantar oma, tapi tak apa semua demi kebaikan dan kesehatan banyak orang.


Setelah peti turun ke liang lahat dan ditutup sempurna dengan tanah, kami baru diizinkan mendekat dan berdoa. Tabur bunga, lantunan doa yang diiringi derai tangis kami mengalir ke tanah makamnya yang masih merah.

Ya, seperti yang sudah Anda kira, jenazah oma memang diperlakukan seperti pasien Covid-19 akibat virus corona. Namun dokter rumah sakit tempat oma dirawat sejak beberapa hari lalu tak bisa memastikan dan tak bisa melakukan tes covid-19 karena mereka tak punya alat tes. Rumah sakit tersebut memang bukan rumah sakit rujukan corona.

"Belum pasti corona, tapi melihat gejalanya khususnya dari paru-paru, kemungkinan besar karena covid-19. Tapi kami tak bisa memastikan karena tak ada alatnya," kata dokter saat itu, saat saya bertanya apa ada kemungkinan infeksi corona. Awalnya oma divonis infeksi paru-paru, ginjal, dan Hb rendah.

Tapi jika benar itu corona? Entah dari mana oma tertular. Dia jarang keluar rumah, karena memang saya larang. Mungkin dari saya, mama, atau orang lain di sekelilingnya? Entahlah tak ada yang tahu.

Tapi ini bukan saatnya mencari siapa yang salah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Sejak hasil rontgen diterima, paru-paru oma memang terlihat bermasalah. Semua areanya putih. Saya pasrah sejak saat itu. Itu adalah saat terakhir saya bertemu dengannya. Mama yang panik baru saja pulang ke rumah pun langsung kembali ke rumah sakit begitu dokter menelpon karena oma kritis.

"Melihat usianya, sepertinya akan sulit untuk sembuh."

Ucapan dokter saat itu seperti hantaman keras palu besar di kepala. Namun setidaknya saya bisa bersiap untuk kemungkinan terburuk. Dan nyatanya itu benar terjadi. Oma meninggal setelah dua hari dirawat di rumah sakit

Oma kini tak lagi merasa sakit dan lemas. Sedih rasanya ketika mengingat oma yang biasanya lincah menjadi mendadak lemas dengan langkah gontainya, kini oma sudah bersama opa di surga. Berkumpul lagi dengan kekasih hatinya yang sudah lebih dulu pergi.

Dan setidaknya kami, anak dan cucumu berhasil mewujudkan satu keinginannya untuk dikubur bersama dengan opa dalam satu liang kubur.

Beristirahatlah dalam tenang oma sayang. Jangan khawatirkan kami anak dan cucu mu di sini. Jagalah kami dan lindungilah kami yang saat ini tengah menjalani self isolation (walau belum pasti oma kena Covid-19) sembari terus menerangi jalanmu kepadaNya dengan doa-doa yang kami panjatkan dari kamar kami masing-masing ini.

Selamat jalan oma.

Pesan saya untuk semuanya, jaga diri, jagalah orang tua dan keluarga dekat Anda dari wabah virus corona karena kita tak tahu kapan, bagaimana, dan dari siapa penyakit ini menular. Walau belum terkonfirmasi Covid atau bukan, but please stay at home, apalagi kalau orang rumah ada yang lansia.

Satu lagi, wabah ini seharusnya mengajarkan bahwa ini adalah waktu untuk taking care of each other dan menjaga sisi kemanusiaan kita terasah. Saya beruntung karena punya teman-teman, keluarga, dan tetangga yang tahu dan mengerti kondisi kami dan duka yang kami alami. Tetangga saya justru menawarkan bantuan (dengan prosedur social distancing dan self isolation yang tepat tentunya) jika saya dan keluarga membutuhkan bantuan. 

Love Story: Hi Oma, Ku Rangkai Doa Untukmu dari Ruang IsolasiFoto: IStockphoto/ RelaxFoto.de



Catatan: Kisah nyata diceritakan oleh Daniel kepada CNNIndonesia.com melalui video call saat hari kedua self isolation selama 14 hari di rumahnya.  

(chs/chs)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER