Alasan Psikologis dari Karantina Mandiri yang Terasa Menyiksa

CNN Indonesia
Selasa, 14 Apr 2020 10:48 WIB
Annisa Retno Utami (27) sedang bermain gawai di kediamannya di Cijantung, Jakarta Timur, Jumat, 20 Maret 2020. Annisa yang merupakan karyawan swasta dan dosen mulai menjalankan WFH sejak 16 Maret 2020. CNN Indonesia/Bisma Septalisma
Ilustrasi. Saat menjalani karantina mandiri, otak manusia akan merasa 'lapar' untuk berkomunikasi dan bersosialisasi. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Jakarta, CNN Indonesia -- Percaya tak percaya, hanya dengan tetap rebahan di rumah, Anda bisa turut berperan menyelamatkan dunia dari pandemi Covid-19. Kongko ramai-ramai di kedai kopi atau berkunjung ke rumah sanak saudara seolah jadi aktivitas 'haram'.

Bagi sebagian orang, anjuran 'stay at home' terasa mewah dan menyenangkan. Tapi bagi sebagian lainnya, anjuran ini terasa bak 'neraka'. Mereka berjuang keras untuk menyesuaikan diri.

Wajar saja, selama dua miliar tahun terakhir, otak manusia berkembang pesat demi bersosialisasi. Melansir Science Focus, otak sangat diperlukan untuk memfasilitasi ikatan sosial dan komunikasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari banyak teori mengenai hal ini, model ecological dominance-social competition adalah yang paling mendekati. Model ini menyebut manusia punya sifat yang sangat komunal dan kooperatif. Artinya, berada di satu kelompok sosial membuat seseorang merasa aman.

Sementara dari sudut pandang ilmiah lainnya, diketahui bahwa banyak bagian di dalam otak yang mengatur soal ikatan sosial dan komunikasi. Mulai dari hormon oksitosin, visual cortex, anterior insular cortex, juga bagian yang mengatur emosi.

Ilustrasi. Perkembangan teknologi memungkinkan seseorang untuk tetap berkomunikasi dan bersosialisasi tanpa perlu tatap muka. (Istockphoto/Warchi)

Hormon oksitosin bertugas untuk meningkatkan ikatan interpersonal. Visual cortex didedikasikan untuk mendeteksi dan membaca wajah. Sedang anterior insular cortex bertanggung jawab dalam hal empati, kemampuan untuk mendeteksi kondisi emosional orang lain.

Bagi otak, aktivitas sosialisasi menjadi pengalaman yang bersifat low level pleasure. Interaksi dengan orang lain bisa membentuk ide dan pengertian akan lingkungan sekitar. Seseorang juga akan merasa bahwa pilihan yang diambilnya benar akibat interaksi dalam kelompok yang dilakukan sebelumnya.

Isolasi diri dan menghindari kontak dengan orang lain, dalam dunia psikologi, dianggap sebagai satu bentuk siksaan. Studi menunjukkan, aktivitas otak pada orang yang sedang menjalani isolasi persis seperti rasa kelaparan. Otak merasa 'lapar', bahkan hanya dalam hitungan 10 jam.

Dengan alur sedemikian rupa, tak heran jika isolasi mengakibatkan stres dan mengganggu perkembangan otak-terutama pada usia muda-yang bisa memicu masalah kesehatan mental.

Namun, Anda tak perlu khawatir. Beruntung pandemi Covid-19 terjadi pada tahun 2020 saat teknologi telah berkembang pesat. Masyarakat mengembangkan beragam cara untuk tetap berkomunikasi dari jarak jauh. Media sosial juga aplikasi berbasis internet mengisi jurang kebutuhan akan interaksi.

Hanya saja, perlu dipahami pula bahwa komunikasi dan interaksi manusia juga memasukkan beberapa nonverbal seperti kontak mata, ekspresi, dan nada bicara. Komunikasi jarak jauh yang difasilitasi teknologi tak sepenuhnya memuaskan hasrat dan rasa 'lapar' otak untuk bersosialisasi.

[Gambas:Video CNN]

(els/asr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER