Jakarta, CNN Indonesia -- Pandemi virus corona membuat kota Semarang terpaksa meniadakan Dugderan, yang merupakan tradisi kuno sebagai pemberitahuan dimulainya bulan Ramadhan.
Dugderan berupa acara pentas beduk dan penyulutan kembang api serta petasan sehari sebelum dimulainya bulan puasa.
Sebagai pengganti, Pemerintah Kota Semarang hanya menggelar prosesi sederhana, dimana Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi berperan sebagai Bupati Semarang Raden Mas Tumenggung Aryo Purbaningrat datang ke Masjid Agung Kauman Semarang untuk melakukan pertemuan dengan sesepuh ulama dan tokoh masyarakat untuk menentukan awal Ramadhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Baru saja kita melakukan prosesi sederhana Dugderan, tanpa arak-arakan tanpa karnaval karena kondisinya tengah diterpa wabah corona. Tanpa menghilangkan tradisi dan makna Dugderan, makanya tetap kita langsungkan dengan tidak melibatkan banyak orang. Kami selaku Pemkot Semarang minta maaf bila terpaksa harus meniadakan prosesi arak-arakan dan karnaval," kata Hendrar Prihadi usai prosesi di Masjid Agung Kauman Semarang, Kamis (23/4).
Sementara itu, Ketua Masjid Agung Kauman Semarang KH. Hanief Ismail memberikan apresiasi kepada Pemkot Semarang yang tidak menghilangkan tradisi Dugderan di tengah pandemi virus corona.
"Kami memberikan apresiasi kepada Pemkot Semarang yang tetap melangsungkan tradisi Dugderan dengan sederhana. Prosesi adatnya tetap dijaga, yang dihilangkan hanya keramaiannya saja. Kami memahami kondisi saat ini. Yang penting, makna Dugderan sebagai awal Ramadhan oleh umat Muslim tetap terjaga," ujar Hanief.
Tradisi Dugderan telah diadakan sejak tahun 1882 pada masa Kebupatian Semarang, di bawah kepemimpinan Bupati R.M. Tumenggung Ario Purbaningrat.
Kata 'dug' berasal dari bunyi beduk, sementara 'deran' dari suara petasan yang terdengar selama acara ini berlangsung.
Perayaan yang telah dimulai sejak zaman kolonial ini dahulu dipusatkan di kawasan Masjid Agung Kauman Semarang, yang berada di pusat kota lama Semarang dekat Pasar Johar.
Dalam prosesi Dugderan juga biasanya muncul replika Warak Ngendok, yakni hewan mitologi bertubuh menyerupai unta, berkaki seperti kambing dan kepala menyerupai naga.
 Warak Ngendok. (CNNIndonesia.com/Damar Sinuko) |
Bentuk hewan mitologi ini menggambarkan akulturasi budaya di Semarang, yang terdiri atas budaya Jawa, China dan Arab.
Namun demi membatasi penularan virus corona, arak-arakan Warak Ngendok tak nampak, termasuk juga pembagian Kue Ganjel Rel yang diperebutkan warga di depan Masjid Agung Kauman Semarang karena dipercaya membawa berkah.
(dam/ard)