Ada sejumlah penyakit langka di dunia. Salah satunya adalah galaktosemia tipe-1 yang baru-baru ini ditemukan di Indonesia.
Kasus galaktosemia pertama itu ditemukan pada bayi bernama Gloria yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2019 lalu.
Gloria yang lahir pada November 2019 dirujuk ke RSCM saat masih berusia tujuh hari. Kala itu, tubuhnya berwarna kuning dengan kadar zat besi yang tinggi, disertai dengan pembesaran hati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat datang dan menjalani pemeriksaan lab, kadar zat besinya tinggi sampai 2 ribu. Sementara kadar besi di atas 800 itu sudah berbahaya untuk anak, bisa merusak organ jantung dan hati. [Kelebihan kadar zat besi] harus dikeluarkan," ujar Kepala Pusat Penyakit Langka RSCM, Prof Damayanti Rusli Sjarif, melansir Antara.
Anak yang terkena galaktosemia ditemukan tidak memiliki enzim Galt yang berfungsi memecah zat gula seperti karbohidrat, gula, dan laktosa untuk diubah menjadi energi. Akibatnya, galaktosa menumpuk di dalam tubuh.
Penumpukan galaktosa tersebut, kata Damayanti, bisa merusak organ hati dan membuat tubuhnya menguning. "Kalau dibiarkan, bisa merusak mata, otak, dan ginjal," kata dia.
Sebuah penelitian yang pernah diterbitkan dalam Orphanet Journal of Rare Diseases tahun 2019 lalu menemukan, bayi dengan galaktosemia tipe-1 akan mengalami kesulitan makan saat terpapar susu yang mengandung galaktosa. Bayi juga akan mengalami gagal tumbuh, kerusakan hepatoseluler, sepsis E.coli, hipotonia, penyakit tubulus ginjal, hingga katarak.
Damayanti juga mengatakan, tak semua anak dengan kondisi galaktosemia bisa mendapatkan asupan ASI. ASI diketahui merupakan minuman susu yang kandungan laktosanya paling tinggi jika dibandingkan dengan susu lain termasuk susu kedelai dan susu sapi.
Pada kasus Gloria, susu kedelai membuat dia gelisah dan memicu pendarahan pada ginjal. Kondisi ini disebut sebagai dilema diet galaktosa.
Sama seperti 80 persen penyakit langka lainnya, galaktosemia juga terjadi akibat kelainan genetik. Damayanti menemukan, dua kakak Gloria (anak kedua dan ketiga dari empat bersaudara) mengalami keluhan yang sama seperti Gloria, yakni tubuhnya kuning dan perut membuncit sebelum meninggal dunia.
"Jadi, kalau ada dua pasien keluarga yang punya kelainan mirip dengan dia, maka kita pikirkan ini suatu kelainan genetik. [Kasus Gloria] ada kelainan genetik sudah jelas, bukan hemakromatosis biasa. Kami lakukan pemeriksaan gen langsung," kata Damayanti.
Walau orang tua normal, namun mereka berpeluang sebanyak 25 persen memiliki anak dengan kelainan. Pada kasus orangtua Gloria, anak kedua, ketiga dan keempat diketahui memiliki kelainan gen.
Lantas, adakah cara meminimalisir kemungkinan buah hati berikutnya mengalami kelainan genetik yang sama?
Pemeriksaan darah orang tua dan bekerja sama dengan bagian reproduksi untuk menjalani program bayi tabung bisa menjadi salah satu cara yang bisa ditempuh.
Selain itu, ada juga pemeriksaan pada bayi baru lahir atau k untuk mendeteksi dini adanya kelainan sehingga intervensi bisa segera dilakukan agar tumbuh kembang bayi dapat optimal.
(asr)