Menanti Laboratorium Khusus untuk Diagnosis Penyakit Langka

CNN Indonesia
Senin, 12 Okt 2020 07:31 WIB
Diagnosis penyakit langka dini dibutuhkan agar pasien bisa mendapatkan perawatan yang tepat dan cepat, tapi Indonesia belum punya laboratorium diagnosisnya.
Diagnosis penyakit langka dini dibutuhkan agar pasien bisa mendapatkan perawatan yang tepat dan cepat, tapi Indonesia belum punya laboratorium diagnosisnya.(Istockphoto/ipopba)
Jakarta, CNN Indonesia --

Diagnosis penyakit langka dini dibutuhkan agar pasien bisa mendapatkan perawatan yang tepat dan cepat. Namun, sayangnya Indonesia belum memiliki satu pun laboratorium diagnosis khusus untuk penyakit ini.

"Di Indonesia betul-betul tidak ada yang bisa menegakkan diagnostiknya, karena tidak ada, kami berusaha mengadakan diagnostik ini di IMERI Research Cluster: Human Genetic Research Center (laboratorium genetik) untuk penyakit langka karena pasien banyak," kata Kepala Pusat Penyakit Langka RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Prof. Damayanti Rusli Sjarif dalam webinar bertajuk #CareforRare, Minggu dikutip dari Antara.

Penyakit langka merupakan penyakit yang jumlah penderitanya jarang atau tak banyak, tergantung negara dan fasilitas untuk mendiagnosis. Di Eropa, disebut penyakit langka jika jumlah kasusnya 1 di antara 2000 penduduk, sementara di Amerika Serikat 1 di antara 1500.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Diungkapkannya, 80 persen penyakit ini disebabkan kelainan genetik dan sekitar 65 persen menyebabkan masalah serius mulai dari kecacatan hingga kematian bagi penderitanya.

Selama ini untuk mendapatkan konfirmasi diagnosis penyakit langka, Damayanti harus bekerjasama dengan laboratorium global seperti National Taiwan University, Malaysia hingga laboratorium di Australia. Padahal pemeriksaan ini pun harus dibayar mahal sekitar Rp15 juta per pasien untuk waktu sekita2 2 minggu di Malaysia.

Di Indonesia, saat ini MPS atau Mucopolysaccharidosis tipe II menjadi jenis penyakit langka yang paling banyak ditemukan. Merujuk pada laman mpssociety.org, MPS tipe II muncul karena kurangnya enzim iduronate sulfatase.

Mereka yang terkena penyakit ini biasanya akan mengalami keterlambatan perkembangan dan masalah fisik. Pada bayi, tidak ada gejala yang tampak, namun seiring semakin rusaknya sel, maka tanda-tanda akan semakin terlihat seperti kegagalan perkembangan beberapa organ, bentuk wajah dan rangka tubuh tak normal.

Selain MPS tipe II, jenis penyakit langka lainnya juga ditemukan di Indonesia yakni Gaucher, Pompe dan Malabsorpsi Glukosa-Galaktosa (GSM).

Selain masalah diagnosa penyakit langka, keterbatasan biaya karena belum ditanggung Jaminan Kesehatan Nasional juga menjadi tantangan tatalaksana pada pasien penyakit langka. Selama ini, Damayanti dan tim mengupayakan penggalangan dana dari para donatur.

"Kabar baiknya, 5 persen sudah ada obatnya," ujar Damayanti.

Dari sisi pengadaan obat, Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia, Peni Utami menuturkan, selama ini dia menjalin kerja sama dengan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) bea cukai dan sejumlah perusahaan farmasi.

"Kami memohon pada BPOM, bagian pajak sehingga tidak ada lagi pembayaran pajak. Kami bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan farmasi, Alhamdulillah sampai saat ini dilancarkan," kata dia.

Asian female doctor examines a patient with a stethoscopeFoto: Istockphoto/amenic181
ilustrasi dokter

Untuk memastikan seorang anak mengalami penyakit langka termasuk MPS, dibutuhkan penegakan diagnosis yang tepat dan cepat. Setelahnya dokter baru bisa mengetahui jenis penyakit yang diderita bisa diobati atau tidak.

"Cita-cita kami bisa diagnosis mandiri. Kalau ketemu diagnosis penyakit langkanya, kita bisa bicara obatnya,"demikian kata Damayanti.


(chs)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER