Pantai yang berpasir putih dengan air yang jernih bak berwarna biru turkis tak melulu menjadi jaminan bahwa terumbu karang di dalam lautannya sehat.
Ahli biologi kelautan Erika Woolsey telah melihat secara langsung bagaimana terumbu karang dan kehidupan laut telah dirusak oleh perubahan iklim.
Kondisi tersebut membuatnya bertekad menemukan cara bagi orang lain untuk berbagi pengalamannya, termasuk mereka yang tidak dapat menjelajahi lautan dengan mudah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui lembaga nonprofitnya, The Hydrous, Woolsey menggunakan teknologi realitas virtual (VR) demi "menghadirkan lautan untuk semua orang".
Kumpulan ilmuwan, pembuat film, dan penyelam yang berbasis di San Francisco, Amerika Serikat, mengajak orang-orang melakukan penyelaman virtual yang imersif untuk menciptakan rasa "empati yang universal", yang dirasa akan meningkatkan kesadaran mengenai kerusakan terumbu karang dan langkah yang menginspirasi untuk melindungi lautan di dunia.
Sebagai habitat, terumbu karang menyaingi keanekaragaman hayati hutan hujan, dengan perkiraan 25 persen spesies laut bergantung padanya.
Namun, perubahan iklim, polusi, dan penangkapan ikan berlebihan telah menghancurkan sekitar setengah dari terumbu karang di perairan dangkal dunia.
Eksplorasi bawah air selama dua dekade telah memberi Woolsey (36) pemahaman yang mendalam tentang ancaman yang dihadapi terumbu karang.
"Saya telah melihat secara langsung bahwa terumbu karang berubah dari yang warna-warni dan sehat, menjadi seperti pemandangan di bulan," kata Woolsey.
"Ketika karang hilang ... begitu pula ikannya, begitu pula hewan lain yang bergantung pada terumbu karang dan masyarakat yang bergantung pada ekosistem tersebut untuk mata pencaharian mereka."
Pengalaman itulah yang diwujudkan oleh tim Hydrous dengan film mereka yang telah memenangkan penghargaan "Immerse."
Dimaksudkan untuk ditonton dengan alat VR, penonton bergabung dengan Woolsey untuk penyelaman virtual 360 derajat selama sembilan menit di terumbu karang di lepas pantai Palau, Kepulauan Pasifik.
Mereka berenang bersama pari manta, penyu, dan hiu sebelum menyaksikan kerusakan terumbu karang.
Pengalaman itu sering kali menimbulkan reaksi yang kuat. "Begitu orang melepas alat VR dan menatap mata saya, mereka ingin menceritakan sebuah kisah tentang pengalaman laut mereka," kata Woolsey.
"Hubungan manusia dengan lautan itulah yang akan memecahkan masalah laut kita."
"Immerse" ditayangkan perdana di Ocean Film Festival tahun 2017 dan telah memenangkan penghargaan termasuk EarthXFilm 2019 Official Selection 2019.
Woolsey juga memimpin acara penyelaman virtual langsung, termasuk membimbing 450 peserta di National Geographic VR Theater di Washington pada 2019.
Namun, pada tahun lalu, di tengah penguncian global, penyelaman virtual seakan menjadi tren.
Sejak Juni 2020, hampir 1 juta orang, berusia delapan hingga 90 tahun, telah mengambil bagian dalam penyelaman virtual ini.
"Saat ini, kita tidak hanya terputus dari lautan kita tetapi juga satu sama lain, jadi penyelaman virtual ini adalah alat yang luar biasa untuk menghubungkan kita dengan lingkungan dan juga satu sama lain," katanya.
Woolsey berharap kemajuan teknologi kamera akan memungkinkan timnya untuk "membawa lebih banyak orang ke tempat-tempat di lautan yang belum dijelajahi ... tempat-tempat yang jauh dari peradaban manusia."
Mereka mengembangkan pengalaman virtual yang akan menempatkan peserta dalam peran sebagai ahli biologi kelautan, melacak dan memantau pari manta, melakukan survei keanekaragaman hayati di bawah air, dan bahkan mengangkut pengamat ke luar angkasa untuk memantau suhu permukaan laut global.
Pada akhirnya, pesan Woolsey tentang lautan kita adalah pesan yang positif.
Teknologi VR tidak hanya menunjukkan keadaan lautan, tetapi juga bagaimana mereka memiliki kesempatan untuk pulih.
Inilah yang menurut Woolsey bisa dibawa pulang orang-orang setelah pengalaman melakukan penyelaman virtual.
"Saat kami naik, kami naik dengan pesan harapan yang kami bawa kembali ke darat," katanya.