Sindrom Impostor, Saat Seseorang Merasa Dirinya Tak Layak
Pernahkah Anda merasa tidak layak? Atau, merasa menjadi seorang penipu? Jika iya, bisa jadi perasaan itu menjadi tanda Anda mengalami sindrom impostor.
Sindrom impostor merupakan perasaan campur aduk antara rasa tidak mampu, tidak kompeten, merasa diri seorang penipu, tak layak, dan hal-hal lain yang membuat rendah diri.
Sindrom ini tak masuk dalam Internasional Classification of Disease (ICD-10). Artinya, sindrom ini tak dianggap sebagai gangguan mental.
Mengutip Metro UK, psikolog Pauline Rose Clance dan Suzane Imes-lah yang pertama kali mengangkat isu ini pada 1978 silam. Keduanya berteori bahwa sindrom impostor terjadi di antara orang-orang berprestasi tinggi yang sulit menerima kesuksesan mereka. Mereka meyakini bahwa kesuksesan yang didapat hanya-lah keberuntungan atau kebetulan. Secara irasional, mereka merasa takut bahwa ketidakmampuan atau sisi payah mereka bakal terungkap.
Sebuah tinjauan terhadap 62 studi pada 2019 lalu menemukan, 9-82 persen orang melaporkan dirinya merasa telah menipu banyak orang.
Mengutip Healthline, rasa diri sebagai penipu (impostor) merupakan wujud konflik antara persepsi diri dan persepsi orang lain atas diri.
Misalnya saja, seseorang menorehkan kesuksesan dengan berbagai pujian dari orang lain. Namun, orang dengan sindrom impostor biasanya justru tidak percaya bahwa kesuksesan yang didapat adalah hasil jerih payah kemampuannya, melainkan hanya kebetulan belaka. Mereka juga akan merasa takut bahwa orang lain mengetahui sisi payahnya.
Konsekuensinya, seseorang akan menekan diri untuk bekerja lebih keras demi beberapa pencapaian, seperti berikut.
- Orang lain tidak menyadari kekurangan atau kegagalannya.
- Mereka menjadi layak untuk peran yang mereka yakin tidak pantas didapatkan.
- Menebus apa yang mereka anggap sebagai kurang cerdas.
- Meringankan rasa bersalah karena 'membohongi' orang.
Kerja keras membuat siklus ini terus berjalan. Prestasi hanya dianggap sebagai hasil usaha mempertahankan 'ilusi' kesuksesan. Pengakuan dari orang lain dianggap sebagai simpati atau kasihan. Seiring berjalannya waktu, ini bisa memicu kecemasan, depresi, dan rasa bersalah.