Masjid Agung Djenne di Mali, Afrika Barat, merupakan salah satu tempat ibadah paling unik di dunia. Masjid yang arsitekturnya mirip istana pasir ini pun merupakan pencapaian terbesar arsitektur Sudano-Sahel.
Masjid Agung Djenne menjulang tinggi di antara permukiman warga yang terbuat dari batu bata.
Djenne didirikan antara 800 dan 1250 Masehi dan berkembang sebagai pusat perdagangan, pembelajaran agama Islam termasyhur sejak abad ke-13.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah itu, Masjid Agung Djenne menjadi salah satu bangunan terpenting di kota terutama karena menjadi simbol politik bagi penduduk lokal dan kekuatan kolonial seperti Prancis yang menguasai Mali tahun 1892.
Selama berabad-abad, Masjid Agung Djenne telah menjadi episentrum kehidupan beragama dan budaya Mali. Masjid ini juga diperuntukkan sebagai tempat festival tahunan yang disebut Crepissage de la Grand Mosquee.
Masjid Agung Djenne sebetulnya mengalami rekonstruksi sebanyak tiga kali dan selesai tahun 1907. Menurut cerita, masjid ini kemungkinan didirikan pada abad ke-13 ketika Raja Koi Konboro berkuasa.
Pembangunan masjid dilakukan dengan bahan-bahan lokal dan teknik desain tradisional. Penerus Raja Konboro dan penguasa kota setempat pun menyematkan dua menara di sisi kanan dan kiri masjid.
Ada beberapa tulisan Eropa yang mengisahkan bahwa pembangunan awl masjid berasal dari ide penjelajah asal Prancis yaitu Rene Caillie yang menulis secara rinti tentang struktur masjid tersebut dalam bukunya yaitu 'Journal d'un voyage a Temboctou et a Jenne'.
Caillie melakukan perjalanan ke Djenne tahun 1827 dan ia menuliskan bahwa bangunan masjid sedang dalam perbaikan karena kurangnya perawatan.
Di Sahel sendiri, bangunan dari batu bata dan lumpur seperti Masjid Agung Djenne membutuhkan pelapisan ulang secara berkala dan seringkali tahunan. Jika tidak dilakukan, maka bagian luar bangunan akan meleleh saat musim hujan.
Selanjutnya rekonstruksi kedua dilakukan antara tahun 1834 dan 1838 menggantikan bangunan asli dan rusak. Gambaran konstruksi masjid didokumentasikan langsung oleh seorang jurnalis bernama Felix Dubois.
Berdasarkan dokumentasi Dubois, konstruksi kedua Masjid Agung Djenne lebih masif dari yang pertama dan dokumentasi itu juga menampilkan bagaimana menara-menara dibuat serendah mungkin.
![]() |
Masjid Agung Djenne saat ini berbentuk bujur sangkar dan atapnya ditutupi tanah yang ditopang oleh pilar-pilar monumental.
Atapnya memiliki beberapa lubang yang ditutupi oleh tutup terakota yang memberikan ruang interiornya udara segar. Fasad Masjid Agung Djenne mencakup tiga menara.
Di bagian atas pilar terdapat ekstensi berbentuk kerucut dengan simbol telur burung unta. Sementara itu, pada bagian luar ditaruh balok-balok kayu.
Elemen-elemen ini berfungsi sebagai perancah untuk pelapisan ulang masjid selama festival tahunan Crepissage.
Dibandingkan dengan gambar dan deskripsi bangunan sebelumnya, masjid saat ini mencakup beberapa inovasi seperti ruangan khusus yang diperuntukkan bagi wanita.