Sompol Suthimai sekarang berusia 90 tahun, tetapi ingatannya masih jelas tentang kasus "paling menarik" itu.
Sebagai seorang perwira polisi Thailand yang bekerja dengan Interpol, dia sedang berlibur pada awal 1976 ketika -- di bawah tekanan Knippenberg -- Bangkok Post menerbitkan foto-foto turis yang terbunuh.
"Saya berkata pada diri sendiri: ini lelucon -- bagaimana mungkin begitu banyak orang terbunuh tanpa diketahui oleh polisi?" kata Sompol.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia bergegas kembali ke Bangkok dan bertemu Knippenberg, yang awalnya curiga, setelah mencoba dan gagal membuat polisi Thailand tertarik pada kasus itu.
Akhirnya diplomat itu memberikan Sompol berkas bukti yang telah ia kumpulkan dengan Gires -- buku harian dan tiket pesawat milik para korban yang ditemukan di flat Sobhraj.
Tapi Sobhraj berhasil melarikan diri dari Thailand beberapa hari sebelumnya. Sompol mengeluarkan surat perintah penangkapan internasional.
Sobhraj ditangkap di New Delhi pada Juli 1976 dan menghabiskan dua dekade di penjara India karena pembunuhan, membius, dan merampok turis.
Dia pergi ke Prancis setelah dibebaskan dan tinggal di sana dengan tenang sampai tahun 2003 sebelum kembali ke Nepal, di mana dia dipenjara karena dua pembunuhan, dan telah berada di balik jeruji besi sejak saat itu.
Dugaan kejahatan Sobhraj di Thailand telah lama melewati undang-undang pembatasan, dan Sompol dibiarkan menyesali kegagalan rekan-rekannya empat dekade lalu.
"Polisi tidak terlalu memperhatikan. Mereka membuat kekacauan," desahnya.
Dari sel penjaranya, Sobhraj menjual ceritanya ke penerbit, dan pada Juli 1977 wartawan Australia Julie Clarke dan Richard Neville dikirim untuk menemuinya.
Mereka membayar penjaga untuk mendapatkan akses rutin kepadanya, dan hubungan aneh pun berkembang.
"Kami juga pernah menjadi hippie, jadi kami terobsesi dengan kasus ini," kata Clarke kepada AFP.
Selama pertemuan mereka, kata Clarke, Sobhraj yang terlihat seperti orang dengan kepribadian "menarik" dan menceritakan pembunuhan itu dengan detail yang mengerikan.
Pada satu titik dia menggambarkan menuangkan bensin pada seorang pemuda Belanda dan membakarnya setelah memukulinya.
"Dia membenci backpacker, dia melihat mereka sebagai pecandu narkoba muda yang malang," kata Clarke, yang sekarang sudah pensiun dan tinggal di Sydney.
"Dia menganggap dirinya sebagai pahlawan pembasmi kejahatan."
Buku Clarke dan Neville, 'On the Trail of the Serpent', menjadi buku terlaris dan menjadi dasar serial TV yang tayang itu.
Sejak dicomot pihak berwajib, Sobhraj telah membantah kejahatan tersebut, dan pengacaranya asal Prancis, Isabelle Coutant-Peyre, mengatakan pengakuan dalam buku itu "dibuat-buat".
Tapi Clarke mengatakan Sobhraj sedang mencoba untuk "menulis ulang sejarah" dengan harapan bisa keluar dari penjara.
Beberapa bulan yang dia habiskan dalam bayang-bayang si pembunuh meninggalkannya dengan "kenangan traumatis".
"Kami mengalami mimpi buruk. Dari penjaranya, dia menulis surat kepada kami dan mendiktekan kami perintahnya. Dia juga mengirim orang untuk mengawasi kami," katanya.
Benar atau tidaknya soal sejarah yang hendak ditulis ulang olehnya, korban yang diincar Sobhraj selalu sama: turis backpacker.
"Jika Anda adalah seorang pelajar yang bepergian di rute hippie, bagaimana mungkin Anda tidak memercayai pria yang menganut agama Buddha dan Hindu ini, yang menyebutkan kutipan Nietzsche ke dalam percakapan dan membuka pintu rumahnya untuk diinapi?" dia berkata.
Namun kebebasan Sobhraj semakin menipis, dan gubernur penjara di Nepal telah mengatakan kepadanya bahwa dia akan mati di balik jeruji, menurut pengacaranya.
Tapi Clarke mengatakan orang itu sangat hoki -- saat di penjara dia bahkan selamat dari operasi jantung terbuka.
"Dia memenangkan taruhannya dengan ibunya -- untuk mati tua," katanya.
(afp/ard)