Tahun 1992, DF bertransformasi menjadi pameran modern. Produk yang dijajakan semakin beragam. Saat itu, DF akhirnya berpindah lokasi karena kebutuhan areanya mulai meningkat.
"Semakin tahun semakin besar minat orang untuk datang, maka dipindahkan ke kawasan bekas Bandara Kemayoran," kata Yahya.
DF setelah dipindah ke bekas Bandara Kemayoran Kemayoran dikenal dengan nama Jakarta Fair Kemayoran (JFK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gelaran ini kian besar. Pada tahun 2011 misalnya, tercatat sebanyak 2.600 perusahaan yang terlibat. Dari ribuan perusahaan itu terdiri dari pengusaha kecil, menengah, besar, koperasi sampai BUMN.
Berbagai produk unggulan juga dipamerkan di pameran terbesar di Asia Tenggara itu. Mulai dari makanan, batik sampai mobil dijajakan.
Selain itu, dalam gelaran JFK juga ada pesta kembang api, pemilihan Miss Jakarta, malam muda-mudi, karnaval dan masih banyak lagi.
Namun, transformasi tersebut dinilai melunturkan perayaan untuk rakyat. Sebab, semakin ke sini, orientasi pameran tersebut lebih mengarah ke pencarian untung.
Yahya menyayangkan, harga tiket masuk dan produk yang tak seramah dulu. Sehingga ia mengkhawatirkan banyak orang yang ingin menikmati pameran itu itu menjadi tak bisa.
"Karena tiket masuk mahal. Apa-apa yang dijual di sono mahal. Dan itu memang akhirnya kalau saya sih menilai sebagai salah satu bentuk pemerasan dari konglomerat kepada rakyat yang datang ke situ," kritik Yahya.
"Ya begitu, gak murni hiburan untuk rakyat karena mahal segala macam," tambahnya.
Presiden Jojo Widodo yang kala itu masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta akhirnya membuka "PRJ baru" di kawasan Monumen Nasional (Monas) pada 13 Juni 2013.
Pameran ini dibuka dengan menggaet pengusaha mikro, kecil, dan menengah yang tak mendapat tempat di Kemayoran. Jokowi juga saat itu berupaya agar stan dan tiket masuknya gratis.
Meski begitu, JFK tetap ada. Jika tak ada pandemi mungkin sebagian warga Jakarta sudah menikmati JFK pada bulan Juni-Juli lalu.
(ard)