Jakarta, CNN Indonesia --
Tubuh ramping, paha kecil, kulit pucat, pipi tirus dan merona bahkan mata bulat besar dengan kelopak mata ganda menjadi standar yang harus dimiliki hampir seluruh perempuan di China. Ini adalah standar kecantikan bagi perempuan China.
Standar kecantikan ini makin menjadi ketika influencer China juga mempromosikan hal ini. Mereka tampak sempurna di balik kamera yang membuat para pengikutnya tergila-gila dan ingin memiliki tampilan yang sama.
Namun Angie berbeda. Alih-alih menawarkan hal yang terlihat sempurna, influencer virtual yang kerap menampilkan video-video pendeknya di aplikasi Douyin - aplikasi Tiktok versi China. Angie, meski bukan manusia sungguhan justru menampilkan apa yang memang mestinya ditampilkan manusia sesungguhnya, termasuk ketidaksempurnaannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angie pertama kali muncul di media sosial China pada musim gugur 2020 lalu. Sejak pertama muncul Angie tampil tidak sempurna namun terlihat lebih nyata.
Dia mungkin masih cantik secara konvensional, tetapi tidak seperti influencer virtual China lainnya, Angie tidak berpose dalam pakaian desainer, liburan ke tempat mewah, memperlihatkan kehidupan glamornya, berdandan sempurna tanpa flek, keriput, bahkan 'tanpa pori-pori,' atau mempromosikan lagu-lagu baru.
Sebagai gantinya, dia memakai kaus putih sederhana, menyesap minuman karbonasi, dan menguap di layar. Kadang-kadang dia bisa terlihat dengan wajah memerah, dan bahkan satu dua jerawat.
Namun ketidaksempurnaan yang ditampilkan ini membuat Angie disukai banyak orang. Dia bahkan punya pengikut lebih dari 280.000 pengikut hingga saat ini.
Angie bukanlah influencer virtual pertama di China. Selain Angie ada Ling yang juga dibuat pada 2020 lalu. Dia berbeda dengan Angie yang tidak sempurna, Ling justru memiliki rahang tajam, wajah ramping, dan bibir kemerahan. Ling mencerminkan cita-cita kecantikan tradisional Tiongkok.
Februari ini Ling bahkan menghiasi sampul Vogue Me, sebuah majalah mode yang menargetkan generasi "pasca 90-an" China, bersama selebriti dunia nyata G.E.M., Liu Haocun dan Liu Yuxin.
Jesse Zhang adalah pencipta Angie. Dia merupakan seorang direktur perusahaan animasi CGI yang berbasis di Shenzhen, China.
Zhang berpikir sangat menyenangkan untuk membuat karakter virtual dengan fitur yang tidak sempurna - seseorang yang dapat membantu orang bersantai dan merasa lebih positif tentang diri mereka sendiri.
Angie mulai diciptakan pada Juli 2020, dan dalam waktu tiga bulan Zhang telah memposting video pertama karakternya ke Douyin. Hingga padaDesember, Angie sudah mendapatkan sekitar 100 ribu penggemar.
"Saya tidak berpikir dia akan lepas landas begitu cepat," katanya, menghubungkan popularitasnya dengan video santai milik Angie.
Angie bagi penggemarnya terasa seperti penyemangat untuk menghilangkan stres di tengah kesulitan hidup. Angie juga kerap memberi pesan penyemangat bagi para penggemarnya yang meninggalkan pesan di kolom komentar.
"Alasan mengapa saya menyukainya adalah karena Angie lebih realistis daripada banyak orang yang sebenarnya nyata," kata salah satu pengikut Angie, Xiao Qi, seorang milenial yang tinggal di kota Chongqing, China barat daya, dikutip dari CNN.
Meski sudah memiliki banyak pengikut setia. Zhang mengaku tidak memiliki rencana untuk memonetisasi Angie dengan streaming langsung, meskipun ia terbuka untuk kolaborasi.
Namun, jika perancang ingin menguangkan pasar untukinfluencervirtual, ia mungkin menemukan audiens yang bersedia. Apalagi di Douyin, penggemar sering mendukung pembuat konten favorit mereka dengan mengirimkan uang selama streaming langsung, mulai dari beberapa sen hingga ratusan dolar.
Untuk pemasar, influencer virtual adalah alternatif berisiko rendah jika dibandingkan dengan bintang kehidupan nyata. Viola Chen, ahli strategi di Red Ant Asia, mengatakan influencer dengan piksel sempurna juga dapat lebih mudah dibentuk agar sesuai dengan kampanye perusahaan.
"Lebih mudah bagi mereka untuk ditingkatkan dan disesuaikan agar sesuai dengan gaya yang berbeda dan untuk memastikan citra mereka selalu sesuai merek," kata Chen.
Meski demikian, influencer virtual tetap tidak akan menggantikan orang sungguhan. Dalam beberapa kampanye mereka dianggap tidak autentik atau terlalu dikomersialkan.
"Pengikut mempertanyakan apakah pantas bagi influencer virtual untuk berbicara tentang produk kecantikan dan perawatan kulit yang kinerjanya perlu diverifikasi oleh sentuhan (manusia)," kata Chen.