SUDUT CERITA

Cukup, Saya Resign!

CNN Indonesia
Minggu, 22 Agu 2021 09:27 WIB
Ketika saya berteriak histeris dan menangis sejadinya karena lelah dengan pekerjaan, tetangga yang dengar mungkin berpikir saya alami KDRT.
Ketika saya berteriak histeris dan menangis sejadinya karena lelah dengan pekerjaan, tetangga yang dengar mungkin berpikir saya alami KDRT.(Milada Vigerova)

Pikiran saya tak keruan, kepala saya panas serasa mau pecah. Saya sempet little depressed, beberapa malam saya berteriak-teriak histeris. Menangis sejadi-jadinya. Mungkin jika tetangga dengar, mereka pikir saya alami KDRT.

Tidak, ini bukan sekadar jenuh, tapi burnout. Tak pernah sekali-kalinya saya berteriak tanpa alasan di malam hari seperti orang gila. Bahkan perubahan mood pun sangat drastis. Di hari Jumat saya senang bukan kepalang, sadar bahwa besok weekend dan saya libur dan saya tak mau diganggu kantor dengan alasan apapun. Namun kebahagiaan ini mendadak pupus di minggu sore. Di minggu malam, saya kembali cemas, anxious, takut menghadapi Senin pagi, saya ketakutan.

Beruntung suami saya, Wawan tak panik. Dengan tenang dia selalu mendengarkan cerita saya. Namun ketika saya mulai berteriak-teriak, dia tahu ada masalah yang lebih besar dari itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sampai kapan mau begini? Saya bisa dengar semua cerita kamu, tapi harus ada problem solvernya. Harus melakukan sesuatu," kata suami saya saat itu.

Di situ saya tersentak. Dia benar, saya takut semakin lama ini dibiarkan bakal merembet ke hubungan saya dengan dia dan juga kesehatan mental.

Saya pun pergi ke psikolog. Saya bercerita semuanya termasuk bad relationship dan energi yang saya terima dari kantor, dia pun meminta saya untuk membuat do and dont's untuk resign atau bertahan.

Ilustrasi ketiduran saat bekerjaFoto: iStock/Satoshi-K
Ilustrasi

Setelah diisi, saya sadar hal negatif lebih banyak dibandingkan sisi positifnya. Satu-satunya hal positif yang bisa membuat saya bertahan hanyalah karena uang.

Perdebatan nurani dimulai. Resign atau bertahan dan berpotensi burnout yang makin parah dan merusak kesehatan mental?

"Gak apa apa kalau mau resign. Kamu udah kerja cukup lama, sekarang waktunya kamu istirahat sejenak karena kesehatan mental lebih penting. Yang penting itu bahagia dulu, kalau udah bahagia bisa ngapain aja, termasuk kerja lagi. Uang bisa dicari, asal kita sehat jiwa raga," kata Wawan.

Dulu saya takut kalau saya tak lagi kerja di sana, saya tak lagi punya title, punya jabatan, atau bahkan kehilangan teman-teman nongkrong. Tapi lambat laun saya berpikir hal ini tak bikin saya bahagia, apalagi yang mau saya pertahankan dari situ? Sekarang saya harus fokus pada diri sendiri dan mengembangkan diri. 

Dia benar, kesehatan, termasuk kesehatan mental adalah yang utama. Uang juga penting. Tapi dalam kasus saya, setidaknya saya masih punya dana darurat untuk menghidupi saya. Toh, saya juga tak akan selamanya tak bekerja. Ingat saya hanya butuh rehat sejenak.

Bersama Wawan, saya mulai memikirkan berbagai potensi aktivitas bahkan sampai bisnis yang mungkin saya lakukan usai resign. Saya sadar, ada banyak potensi yang bisa saya lakukan setelah masa rehat nanti. Jadi, saya bukannya tak ada rencana sama sekali, ada banyak rencana yang bisa saya lakukan.

Benar saja, ketika sudah mengambil keputusan, perasaan saya langsung plong. Saya masih tetap bekerja karena aturan kantor yang mengharuskan resign few months notice, tapi selama beberapa bulan terakhir itu, perasaan saya tenang, kerja pun senang. 

Si bos? Dia sempat menahan saya. Tapi di hari terakhir saya bekerja dia hanya membalas email saya dengan, Thank You and Good Luck. Bye-bye.

(chs)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER