Sekolah Dasar (SD) Negeri 04 Medas, yang berada di Dusun Medas Bentaur, Desa Taman Sari, Lombok Barat, berdiri kokoh dan tampak megah. Bangunan ini sudah siap menyambut siswa untuk mengenyam pendidikan di ruang kelas di tengah pandemi Covid-19.
Namun siapa sangka kalau sekolah ini pernah hancur dan hampir tak bersisa saat gempa terjadi di Lombok 2018 lalu. SDN 04 Medas adalah satu dari sekian banyak sekolah yang hancur saat gempa berkekuatan 6,4skala richter terjadi di daerah itu.
Hampir tiga tahun berselang, sekolah kembali kokoh dengan bangunan yang didominasi warna coklat kayu dan hijau. Siapa sangka, bangunan sekolah yang tampak asri dan bersih ini justru tak terbuat dari batu bata atau kayu yang umum digunakan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hampir keseluruhan bangunan terbuat dari sampah plastik yang telah didaur ulang menjadi bata. SDN 04 Medas menjadi sekolah pertama dan satu-satunya di dunia yang dibangun dengan bahan baku bata dari limbah plastik daur ulang atau dikenal dengan istilah ecobrick.
"Di negara lain baru rumah, kaya di Afrika, di Finlandia itu rumah yang dibangun dengan sistem ini. Kalau sekolah baru di Indonesia, di Lombok ini," kata Satriawan Amri, Ketua Yayasan Pelita Foundation Lombok kepada CNNIndonesia.com, Rabu (1/9).
Amri mulanya memang berniat membangun sekolah semi permanen di beberapa tempat yang terkena gempa. Sekolah-sekolah itu ditujukan untuk siswa yang tetap harus mengenyam pendidikan di tengah keterbatasan usai diterjang gempa.
Setidaknya ada 150 ruang kelas yang berhasil dia bangun bersama dengan teman-teman dari yayasan. Sekolah-sekolah ini dibuat dengan menggunakan triplek dan puing bekas gempa.
Niat baiknya itu disambut donatur asal Australia yang mengajak membangun sekolah dengan menggunakan ecobrick. Hanya saja karena belum familiar dengan ecobrick, Amri meminta penjelasan rinci dan mengaku sangat tertarik setelah sadar pembangunannya menggunakan sistem zero waste.
"Kami sangat setuju ini cocok sekali. Bisa mengatasi masalah sampah, masalah gempa. Jadi banyak masalah yang teratasi," kata Amri.
Amri memang diberi penjelasan bahwa bangunan yang dibuat dari bata ecobrick tahan gempa dan tak membahayakan nyawa manusia. Tentu saja, batanya terbuat dari plastik bekas.
Setelah sepakat, pihak donatur langsung menghubungi pabrik pengolah sampah menjadi bata di Finlandia. Bata itu memang harus diimpor dari Finlandia karena belum bisa diproduksi di Indonesia.
Untuk satu ruang kelas dengan ukuran 6x10 meter diperlukan tiga ton sampah plastik yang telah diolah menjadi bata. Normalnya, ruang kelas tersebut diisi 25 orang setiap harinya.
"Tapi masih bisa menampung sampai 30 orang," kata dia.
Saat ini total ruangan yang telah dibangun dengan menggunakan sampah plastik daur ulang itu sebanyak lima ruangan. Dipastikan ruangan-ruangan ini tahan terhadap gempa yang memang rawan terjadi di Lombok.