Guarachi (67) memandang ke kejauhan ke arah El Alto, kota satelit besar yang menghadap ke La Paz.
"Manusia telah banyak berubah hanya demi satu tujuan: mendapatkan lebih banyak uang. Dan mereka telah melupakan alam," kata Guarachi.
Bolivia berada di urutan ke-80 dari 181 negara dalam hal emisi CO2.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awal tahun ini, negara Amerika Selatan berpenduduk 11 juta ini mengajukan proposal ke PBB untuk pembiayaan mengurangi emisi karbon.
Tetapi Ramirez mengatakan bahwa negaranya tidak dapat dimaafkan, menunjuk pada kebakaran hutan yang setiap tahun menghancurkan ribuan hektare lembah Amazon untuk membuka lahan pertanian.
"Efek kebakaran juga mempengaruhi keadaan gletser," kata Ramirez, menjelaskan bahwa karbon yang dihasilkan disimpan di es dan mempercepat proses pencairan dengan mengurangi kemampuan salju dan es untuk memantulkan sinar matahari.
Hilangnya gletser dapat berdampak pada pasokan air bagi jutaan orang Bolivia.
Selama periode kekeringan, pencairan es akan menyediakan hingga 85 persen kebutuhan air La Paz. Beberapa kali dalam lima tahun terakhir warganya terpaksa menjatah air.
Petani di Altiplano, di atas La Paz, juga merasakan dampaknya.
Persembahan dan doa untuk Ibu Pertiwi - dewa tradisional - telah sering dilakukan
Tidak terpengaruh oleh ketinggian, Guarachi berjalan-jalan di sekitar reruntuhan resor Chacaltaya yang dibangun pada tahun 1930-an.
"Kita harus mengubah mentalitas kita ... karena saya lebih suka memiliki air daripada banyak uang. Anda bisa memiliki banyak uang tetapi Anda tidak akan mampu membeli air jika gletser menghilang," katanya.
Bagi ahli biologi Karina Apaza, lingkungan dulu dipandang sebagai "penghalang pertumbuhan ekonomi, tetapi jika Anda menghilangkannya, siapa yang akan terpengaruh? Diri Anda sendiri."