Jakarta, CNN Indonesia --
Belum banyak yang tahu, kalau hingga saat ini hanya ada kurang dari dua lusin pilot yang diizinkan menerbangkan atau mendaratkan pesawat di Bandara Internasional Paro, Bhutan.
Medan bandara yang berbahaya membuat pilot harus memiliki jam terbang tinggi dan wajib mengantongi pelatihan khusus untuk mengangkut si burung besi ke bandara di salah satu negara terindah di dunia ini.
Bandara Internasional Paro juga sering masuk dalam daftar "bandara paling berbahaya di dunia", kadang bersama dengan Bandara Tenzing-Hillary di Lukla, Nepal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bandara ini berada enam kilometer dari kota Paro. Lokasinya di tengah lembah yang dibelah Sungai Paro Chhu.
Bandara Paro ialah satu-satunya bandara di Bhutan hingga tahun 2011. Saat ini ada Bandara Gelephu, Bathpalathang, dan Yongphulla yang beroperasi untuk penerbangan domestik.
Berada di ketinggian 5.486 meter di atas permukaan laut, bandara ini memiliki landasan pacu yang tak begitu panjang, hanya 1.964 meter.
Lokasi yang curam dan lintasan yang sempit menjadi alasan hanya segelintir pilot berizin yang bisa menerbangkan pesawat dari dan ke bandara ini.
Jangankan penerbangan malam, penerbangan siang saja sering terkendala cuaca buruk khas pegunungan, seperti hujan deras atau angin kencang.
Mengutip Simple Flying, selain medan dan cuaca, pilot juga harus lihai mengatasi keterbatasan fasilitas penerbangan di Bandara Internasional Paro.
Pertama, tidak ada radar untuk memandu pesawat turun di bandara. Pilot harus terbang sepenuhnya dengan mode manual, sesuai dengan prosedur pendaratan yang telah dirancang oleh pilot dan produsen pesawat yang berpengalaman.
Prosedur ini sekaligus menentukan pada kecepatan dan ketinggian mana pesawat harus berada di titik pemeriksaan tengara visual tertentu saat pilot melakukan pendekatan.
Oleh karena itu, butuh cuaca cerah bebas awan untuk pendaratan. Tapi kenyataannya, banyak penerbangan yang dibatalkan saat kawanan awan berarak di langit Paro.
Pilot juga perlu mewaspadai tiang listrik dan atap rumah warga di lereng bukit saat mereka bermanuver di antara pegunungan pada sudut 45 derajat sebelum mendarat dengan cepat ke landasan pacu.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Bandara lain mengandalkan ILS (Instrumental Landing System) untuk memandu pesawat secara lateral dan vertikal dalam pendekatan pendaratan. Di Paro, pilot hanya memiliki satu VOR (Very high-frequency Omni-directional Range) untuk memandu mereka. Namun, IFP (Instrument Flight Procedure) yang disebut RNP AR Cloud-Break sedang dikembangkan untuk Paro oleh NAVBLUE milik Airbus.
Pegunungan di sekitar bandara dapat mencapai ketinggian 5.486 meter, sedangkan Paro sendiri berada di ketinggian 2.244 meter.
Faktor ketinggian ini dengan sendirinya mempengaruhi dan membatasi kinerja pesawat. Pilot juga mengatakan bahwa landasan hanya benar-benar terlihat sesaat sebelum mendarat.
Hanya dua maskapai yang terbang ke Bandara Internasional Paro. Maskapai pelat merah Bhutan, Drukair, juga dikenal sebagai Royal Bhutan Airlines, memiliki lima pesawat yang beroperasi. Tiga di antaranya adalah Airbus A319-100 berusia 12 tahun, dan satu turboprop ATR 42/72.
Sedangkan Bhutan Airlines milik swasta mengoperasikan dua pesawat Airbus, keduanya A319-100.
Bandara Internasional Paro awalnya dibangun sebagai landasan udara untuk operasi helikopter panggilan oleh Angkatan Bersenjata India atas nama Pemerintah Kerajaan Bhutan.
Maskapai penerbangan pertama negara itu, Drukair, didirikan pada tahun 1981 dan meresmikan penerbangan pendapatan terjadwal dua tahun kemudian.
Departemen Penerbangan Sipil Bhutan baru didirikan pada tahun 1986. Sebelumnya Drukair bertanggung jawab atas pengoperasian dan pemeliharaan Bandara Internasional Paro.
Drukair memiliki 25 pilot aslo Bhutan, serta 10 pilot ekspatriat.
Hanya segelintir dari mereka sejauh ini telah disertifikasi untuk mendaratkan pesawat di Paro.
Pilot wanita pertama di Bhutan adalah Ugyen Dema yang bergabung dengan Drukair pada tahun 2006.
Bisa wisata ke Bhutan tentu saja pengalaman yang tak akan terlupakan.
Jika terbang dari Kathmandu ke Paro, Gunung Everest dan sembilan puncak tertinggi di dunia - selain K2 - bisa terlihat dari kabin pesawat.
Dalam video Youtube Sam Chui, terlihat kalau pilot Bhutan Airlines sering terlihat berdoa saat pesawat melintasi gunung-gunung di sepanjang perjalanan menuju Bandara Internasional Paro, karena bagi penduduk di Nepal, Tibet dan Bhutan, gunung ialah tempat yang sakral.
[Gambas:Infografis CNN]
[Gambas:Youtube]