Jakarta, CNN Indonesia --
Istilah toxic parents, toxic friends, hingga toxic partner mungkin kerap Anda temukan belakangan ini. Toxic yang secara harfiah berarti racun kini juga dilekatkan pada persona, tidak hanya makanan atau minuman.
Melihat fenomena ini, Denrich Suryadi, psikolog senior di Morphosa dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, menyebut saat toksik dilekatkan pada persona maka bisa diartikan ada perlakuan, cara bicara tanpa sadar memberikan pengaruh negatif terhadap orang lain. Biasanya toxic personality atau orang dengan kepribadian toksik kerap membuat orang lain tidak nyaman, stres, hingga konflik.
"Kan kalau kita makan makanan beracun kan jadi sakit, sampai fatalnya bisa meninggal. Tanpa sadar semua yang kita terima mematikan, jelek, negatif buat kita. Mungkin bisa timbul luka secara emosional, fisik. Kadang membunuh rasa percaya diri, konsep diri, harga diri, hanya karena orang itu (toxic people) melempar 'racunnya' buat kita," jelas Denrich saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (10/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Denrich, psikolog keluarga Mira Amir menambahkan seseorang yang toksik adalah seorang yang sulit menjadi positif atau sulit memberikan energi positif ke sekitarnya misal, pesimistis, penuh kritik tanpa bisa menerima kritik.
Apa saja ciri toxic people?
Anda bisa saja mendeteksi apa seseorang ini toksik atau tidak buat Anda. Adapun ciri atau indikasi orang dengan kepribadian toksik adalah sebagai berikut:
* Susah melihat sisi positif sesuatu atau peristiwa, Mira menyebut orang toksik terus-menerus melihat sisi negatif atau sisi buruk sesuatu.
* Tidak menghormati batasan (boundaries) orang lain misal, terlalu kepo atau ingin tahu urusan orang bahkan hingga ikut campur di dalamnya.
* Melakukan penganiayaan secara emosional, verbal, dan fisik.
"Mungkin tindakan fisiknya enggak seperti orang yang abuse. Mungkin mereka melakukan tindakan yang bikin kita enggak nyaman. Ada orang yang kalau lagi sangat overacting, tanpa sadar pukul kita. Yah bercanda, tapi lama-lama mulai mengganggu. Kita dijadikan sasaran untuk meluapkan masalah," jelas Denrich.
Interaksi dengan orang yang toksik biasanya akan membuat Anda:
* Merasa dimanfaatkan, dimanipulasi
* Lelah sebab Anda jadi kerap menyalahkan diri sendiri lalu memaafkan diri sendiri atau membela diri sendiri
* Tidak nyaman, selalu saja ada hal yang dirasa membuat Anda jelek di mata mereka.
Penyebab orang jadi toxic dan bagaimana mengatasinya ada di halaman selanjutnya...
1. Masalah pribadi
Denrich memaparkan orang yang toksik biasanya memiliki akar masalah utama yakni masalah pribadi. Orang ini mungkin mengalami trauma, ada luka yang tidak pernah dipulihkan, diurus sehingga ujung-ujungnya menebar energi negatif ke orang lain.
2. Gangguan kepribadian
Ketika seorang memiliki kepribadian toksik, ada kemungkinan orang ini mengalami gangguan kesehatan mental, khususnya gangguan kepribadian atau personality disorder). Andri, psikiater di Klinik Psikosomatik OMNI Hospital Alam Sutera, mengatakan gangguan kepribadian ini beragam misalnya, kepribadian narsistik, kepribadian ambang, dan kepribadian paranoid.
Saat orang dengan gangguan kepribadian misal narsistik berinteraksi dengan orang lain, orang lain yang akan merasa bermasalah dengan orang narsistik ini. Sedangkan yang memiliki gangguan kepribadian merasa baik-baik saja atau tidak ada masalah.
"Saya praktik, paling sering menemukan kepribadian ambang. Dia erat hubungannya dengan depresi dan gangguan bipolar. Biasanya yang mengalami perempuan usia muda. Perasaan yang sering timbul tidak berdaya kalau ditinggal sendirian, tidak punya seseorang yang mendukung, mengalami self harm," jelas Andri saat dihubungi pada Kamis (9/12).
 Foto: iStockphoto/stefanamer ilustrasi hubungan toxic |
3. Pola asuh keluarga
Mira melihat orang yang toksik disebabkan pola asuh keluarga maupun lingkungandi mana dia dibesarkan. Sebagai contoh, orang yang tumbuh di lingkungan serba susah akan cenderung keras pada diri sendiri juga pada orang lain.
Ini juga bisa berkaitan dengan tipe pola asuh orang tua (parenting). Umumnya dikenal ada 4 tipe pola asuh yakni otoriter (authoritarian parenting), otoritatif (authoritative parenting), permisif (permissive parenting) dan tidak ada keterlibatan orang tua (uninvolved parenting).
"Yang otoriter itu yang pertama [membuat seorang jadi toksik]. Orang tua meminta anak mengerjakan apa yang mereka omongkan, anak enggak ada kesempatan buat ngomong. Orang tua cenderung enggak mendengarkan, karena gimana mau mendengarkan? Komunikasinya satu arah," kata Mira.
Jadi, hadapi atau eliminasi?
Baik Denrich, Mira maupun Andri sepakat bahwa orang yang toksik (toxic people) memang baiknya dijauhi. Anda mengenal ciri-cirinya lalu melakukan 'manuver' untuk menghindari paparan energi negatifnya (negative vibes). Jika ini masih dalam konteks relasi pertemanan atau relasi yang memungkinkan untuk dihindari, dipisahkan, rasanya ini bukan sesuatu yang rumit.
Jika sahabat terdekat yang terindikasi toksik, Denrich menyarankan untuk membuat batasan misal interaksi tidak terlalu lama, interaksi dilakukan untuk hal-hal yang penting atau berkaitan dengan hal-hal profesional. Kemudian menanamkan dalam diri untuk tidak terpengaruh dengan kata-kata orang ini dan tidak banyak menyalahkan diri sendiri.
Akan tetapi, untuk relasi dekat seperti pasangan, orang tua maupun keluarga, cukup sulit atau bahkan nyaris tidak mungkin mengeliminasi mereka. Saat berada dalam situasi ini, Denrich menyarankan untuk lebih proaktif yakni dengan membantu mengatasi masalah mental mereka.
"Kalau toxic parent kan bisa karena latar belakang pendidikan mereka bermasalah, stres secara sosial ekonomi, mereka ada masalah dengan orang tua mereka di masa lalu, jangan-jangan mereka korban kekerasan orang tua mereka. Itu kita perlu proaktif misalnya, mencarikan bantuan. Kitanya belajar untuk bisa jadi 'konselor' buat mereka, kita dengarkan kita coba untuk menenangkan, mengurangi kecemasan. Semoga dengan cara itu toksiknya mereka berkurang. Intinya jadi orang 'warasnya' di rumah," jelasnya.