Korban Kekerasan Seksual Minta Maaf pada Pelaku, Ada Apa?
Pertengahan tahun lalu media sosial diramaikan dengan kasus pelecehan seksual yang menyeret nama salah satu pesohor tanah air. Namun baru-baru ini, korban kembali buka suara bukan untuk memperjuangkan keadilan atas apa yang menimpanya, melainkan meminta maaf.
Tentu ini menggemparkan publik, pasalnya, sebelumnya ia mendeskripsikan kejadian beberapa tahun silam secara detail lalu tiba-tiba semua itu disebut "delusi". Ada apa sebenarnya?
Berbincang dengan CNNIndonesia.com, psikolog Mira Amir menduga benturan dengan aturan hukum kerap membuat korban kekerasan seksual memilih mundur atau menyelesaikan kasusnya lewat jalan kekeluargaan.
"Kalau sudah kayak gini, benturannya di [proses] hukum, pasti. Kasus seperti ini harus ada bukti. Yang repot, dia [bilang] lagi dalam keadaan enggak sadar [saat kejadian]. Hukum enggak bisa asal nuduh [si pelaku] hanya karena bersimpati [pada korban]," kata Mira saat dihubungi pada Senin (14/2).
Tak cuma itu, dia mengungkapkan ada kemungkinan tekanan dari orang yang memiliki 'kekuatan' lebih.
Dia bercerita, ada seorang klien yang menjadi korban pelecehan seksual di kantornya. Namun ada rasa takut sebab pelaku memiliki jabatan lebih tinggi sehingga timbul kekhawatiran bisa kalah 'suara'.
Kadang, 'kekuatan' atau 'power' itu tidak benar-benar dimiliki pelaku, tetapi orang lain sudah mempersepsikan bahwa orang ini punya 'kekuatan' lebih.
"Aduh gimana ya Bu, dia bisa power abuse (menyalahgunakan kekuatan), saya bisa ngomong apa?" kata Mira menirukan sang klien.
"Jadi ya orang kalau udah kayak gitu, se-enggak bisa itu lho buat melindungi dirinya."
Kemudian, lanjut Mira, beredarnya video permintaan maaf korban kekerasan seksual bisa membawa dampak besar.
Bagi penyintas kekerasan seksual, meski tidak semua, ada kemungkinan mereka enggan bersuara atau kehilangan semangat untuk maju. Pun orang atau sekitar yang tadinya mendukung, bisa berbalik menyalahkan.
"Kita pikir ada yang dukung, bisa jadi discouraging (bikin kehilangan kepercayaan diri, antusiasme, semangat). [Mereka bisa malah menyalahkan, misal], habis baju kamu enggak proper, kok mudah terpedaya sih?" imbuhnya.
Di sisi lain, memang perlu keberanian lebih untuk melaporkan kasus kekerasan seksual. Tak jarang korban memilih diam, membiarkan, dan tidak melapor.
"[Saat melapor], korban harus mengungkapkan hal yang enggak enak, seperti muter kaset [berisi] emosi yang tidak nyaman, itu yang bikin males [lapor]. Pengalaman diperkosa, misal, ada takut, marah, mual, mau muntah, perut mulas. Menceritakan ulang itu tidak nyaman, harus balik lagi ke emosi negatif saat kejadian," jelasnya.
Menurut Mira, mereka yang berani bicara tentu memiliki energi luar biasa. Sementara korban lain yang cenderung lemah mungkin tidak sampai melapor. Mereka cukup menangis, berlaku seolah-olah itu tidak pernah terjadi.
(els/chs)