Seiring berjalan waktu, masyarakat percaya jika malam midodareni digelar, para bidadari memang akan turun ke bumi untuk menemui calon mempelai wanita.
Mereka akan membantu mempercantik calon pengantin wanita sekaligus memberi wejangan pernikahan, bagaimana melayani suami di malam pertama hingga sepanjang hayatnya.
"Makanya di malam ini, kalau dulu itu calon pengantin wanita tidak boleh keluar kamar, tidak boleh tidur, biasanya hanya ditemani oleh pini sepuh, saudara perempuannya, atau bisa juga orang yang disayangi seperti teman-temannya," kata Irfan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Calon pengantin wanita juga akan melakukan puasa mutih selama satu minggu sebelum pernikahan. Puasa mutih adalah puasa yang dilakukan dengan cara makan nasi putih dan air saja tanpa campuran lainnya selama 7 hari.
"Ini akan mengeluarkan aura si calon pengantin, jadi kepercayaannya ketika midodareni ini digelar, para bidadari tadi yang turun dari langit lebih mudah mengeluarkan aura si calon pengantin," katanya.
Saat ini, malam midodareni memang masih sering digelar. Tapi, kata Irfan, prosesnya sudah agak bergeser.
Bukan cuma itu, beberapa kebiasaan juga turut menghilang. Misalnya, jika pada midodareni sebelumnya kedua calon mempelai tidak boleh saling bertemu, beberapa prosesi midodareni di zaman kiwari justru memperbolehkan pertemuan calon mempelai.
Malam midodareni juga bagi sebagian besar keluarga digunakan untuk malam pengajian dan berdoa untuk meminta berkah, rahmat, dan kebahagiaan bagi kedua keluarga yang akan melangsungkan pernikahan.
"Dan di masyarakat di kampung, malam midodareni juga biasanya jadi malam menyelesaikan dekorasi, kumpulnya panitia dan untuk memastikan acara besok berjalan lancar. Jadi, seperti rapat panitia saja cuma lebih cair," katanya.
(tst/asr)