Faktanya, dari mana pun asalnya, garam Himalaya tetaplah garam pada umumnya.
Garam Himalaya dianggap lebih menyehatkan sehingga orang beramai-ramai mencari garam berwarna merah muda ini. Anggapannya, garam Himalaya lebih sehat dan minim risiko kesehatan, termasuk hipertensi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokter spesialis penyakit dalam-konsultan ginjal dan hipertensi, Rully M.A Roesli mengatakan, sebenarnya mau dari mana pun asalnya, garam tetap saja garam yang berpeluang memicu tekanan darah tinggi.
"Yang pasti garam Himalaya lebih mahal," kata Rully berkelakar.
"Padahal isinya sama saja. Kan, yang dihitung NaCl. Jadi mau dari gunung, dari mana pun ya sama saja," tambah Rully.
Faktanya, memasak sendiri bisa menurunkan risiko hipertensi, asalkan takaran garam tidak berlebih.
Masak sendiri masih berpeluang meningkatkan risiko hipertensi jika takaran garam yang digunakan tidak terkendali.
Rully menyarankan untuk memanfaatkan rempah lain sebagai pengganti garam. Misalnya saja porsi garam dikurangi dan diganti dengan merica.
Faktanya, membiarkan hipertensi tanpa obat justru memicu gagal ginjal.
Rully menuturkan, diagnosis hipertensi bukan hal yang sulit. Justru terapi hipertensi-lah yang sangat menantang.
Pasalnya, banyak orang yang salah kaprah. Saat tekanan darah terpantau normal, obat dianggap tidak diperlukan lagi. Padahal, tekanan darah bisa normal berkat konsumsi obat.
"Yang merusak ginjal itu bukan obatnya, tapi hipertensinya. Kalau tekanan darah tidak terkontrol, tinggal pilih aja, mau stroke, gagal jantung atau mau cuci darah [gagal ginjal]," imbuhnya.
(els/asr)