Saran Psikolog soal Beri Nama Anak, Makna Positif Tanpa Ejaan Ribet
Dalam aturan baru, orang tua disarankan memberikan nama anak yang terdiri dari setidaknya dua kata dan tanpa singkatan. Dengan aturan ini, orang tua tampaknya perlu mempertimbangkan kembali pemberian nama anak.
Anda jelas tidak bisa menamai anak seperti Elon Musk yang memberi nama buah hatinya Æ A-12 (X Ash A Twelve).
Memang, jika diperhatikan, variasi nama anak di zaman kiwari begitu berbeda dengan generasi sebelumnya. Jika dulu nama Pandu, Tini, atau Budi sangat lumrah, kini nama-nama itu justru tak menjadi perhatian.
Hal ini pula yang diakui psikolog anak Kantiana Taslim, bahwa ada pergeseran cara pemberian nama anak dari generasi ke generasi.
"Menurut beberapa penelitian yang saya temukan, meski penelitian di luar negeri, orang tua berbagai daerah itu memberikan nama anak sekarang ada pergeseran sedikit," kata Kantiana saat berbincang dengan CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Selasa (24/5).
Jika orang tua jadul memberikan nama anak berdasarkan unsur budaya pada daerah asal, kini pemberian nama dilakukan dengan lebih individual.
"Pengin anaknya jadi sesuatu yang berbeda, ya, mencerminkan harapan dan doa orang tua juga," tambah Kantiana.
Nama anak juga ibarat 'personal branding'. Orang tua di zaman kiwari, lanjut Kantiana, mencari nama yang berbeda atau stand out di antara yang lain.
Dalam hal ini, Kantiana berpesan untuk berhati-hati dalam memberikan nama anak. Tak masalah jika ingin memberikan nama yang menjadi cerminan doa dan harapan orang tua. Namun, jangan jadikan nama sebagai satu-satunya patokan ekspektasi orang tua.
"Nama kamu artinya cerdas, jadi harus pintar dong di sekolah, [misalnya]. Ini jadi warning. Jangan sampai kayak gitu, melandaskan [ekspektasi] sepenuhnya pada nama," katanya.
Selain itu, orang tua juga diimbau untuk mengomunikasikan arti nama pada si buah hati. Karena mengandung unsur doa, harapan, dan nilai positif yang ingin ditanamkan, maka anak perlu tahu arti namanya.
Pertimbangan ini jelas penting mengingat rupanya nama turut memengaruhi kondisi psikologis anak. Misalnya, Kantiana memberi contoh, nama ayak yang terlalu sulit dieja bisa berhubungan dengan anak yang kesulitan menyebut atau menulis namanya.
"Kan, kalau belajar menulis biasanya dimulai dari menulis namanya. Nah, dia pas belajar agak kesulitan," jelasnya.
Kadang nama yang terlalu unik atau bisa dibilang aneh juga bisa memengaruhi rasa percaya diri anak.
Misalnya, dalam kasus nama Jennifer. Alasan ingin berbeda membuat orang tua mengganti ejaannya menjadi aneh seperti Zennifer. Hal ini akan membuat orang di sekitar anak bingung untuk mengeja nama tersebut dan berkali-kali memastikan pada si anak mengenai ejaannya yang benar.
"Ini kalau terus-terusan, misal spelling-nya jadi Zennifer, tentu ini akan memengaruhi rasa percaya diri anak," imbuhnya.
Pengaruh terhadap kondisi psikologis juga biasanya terjadi karena adanya ketidaksesuaian antara nama dengan lingkungan tempat anak dibesarkan. Misalnya, nama bernuansa Barat yang diberikan pada anak yang besar di wilayah pedesaan.
Sebenarnya sah-sah saja memberikan anak nama bernuansa Barat atau budaya lain di luar budaya Indonesia. Akan tetapi, jika anak tinggal di kota kecil dan tumbuh di sana, ada potensi nama anak jadi bahan ejekan, terlebih jika namanya sulit dilafalkan.
(els/asr)