Mengenal 'Adat Basandi Syara' di Balik Rendang Padang

CNN Indonesia
Jumat, 10 Jun 2022 15:45 WIB
Ilustrasi. Kehadiran nasi Padang babi dalam sajian rendang dinilai tak sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Minangkabau, 'adat basandi syara, syara basandi kitabullah'. (iStockphoto/Ika Rahma)
Jakarta, CNN Indonesia --

Sajian rendang sedang hangat dibicarakan di media sosial. Gara-garanya adalah sebuah usaha kuliner di Kelapa Gading, Jakarta Utara yang menghadirkan menu nasi padang babi berupa rendang.

Keramaian ini sampai ke telinga anggota DPR RI asal Sumatera Barat Andre Rosiade dan Guspardi Gaus. Keduanya kompak melontarkan kritik terhadap sajian rendang babi tersebut.

Menurut mereka, sajian tersebut tak sesuai dengan falsafah hidup orang Minang, yakni 'adat basandi syara', syara' basandi kitabullah' atawa ABS-SBK.

Mereka mengingatkan bahwa falsafah hidup tersebut sangat lekat dengan nilai-nilai Islam. Sajian rendang jelas tak bisa dipisahkan dari falsafah tersebut.

"Sedangkan yang bersangkutan menjual daging babi, tentu tidak identik dengan nilai-nilai Minangkabau. Kami mengimbau kepada pengusahanya untuk mengganti nama restorannya dan jangan menjual rendang babi," ujar Andre yang juga Ketua Harian DPP Ikatan Keluarga Minang (IKM) pada CNNIndonesia.com, Jumat (10/6).

Apa Itu Adat Basandi Syara'?

'Adat basandi syara', syara' sasandi Kitabullah' merupakan landasan filosofi hidup masyarakat Minangkabau sejak berabad-abad lalu.

Pengajar di Universitas Negeri Padang, Ahmad Kosasih menyebut, syara' atau syarak berarti syariat atau yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Sementara yang dimaksud dengan 'kitabullah' adalah Al-Qur'an sebagai sumber pokok ajaran Islam.

Dalam tulisannya di jurnal Humanis (2013), Kosasih menjelaskan bahwa sebelum ini, masyarakat Minangkabau memegang falsafah hidup 'adat basandi alua jo patuik'. 'Alua' berarti alur atau aturan. Sedangkan 'patuik' berarti sesuatu yang pantas, sesuai dengan kehalusan budi.

Falsafah ini mendorong masyarakat untuk meletakkan sesuatu pada tempatnya sehingga tercipta keadilan sekaligus menghindari sengketa.

Ilustrasi. Nasi Padang babi dinilai tak sesuai dengan falsafah hidup masyarakat Minangkabau. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

Saat ajaran Islam masuk, terjadi dialog dan proses panjang. Dialog itu menghasilkan kesepakatan antara tokoh adat dan kaum ulama dengan lahirnya Kesepakatan Bukit Marapalam. Di sinilah lahir falsafah 'adat basandi syara, syara basandi kitabullah'.

"Kemudian diteruskan dengan ungkapan syarak mangato, adat mamakai seperti tertuang dalam pepatah: Gantang di bodi Caniago, cupak dijadikan ka sukatan, adat mamakai syarak mangato, ujuik satu balain jalan," tulis Kosasih.

"Maksudnya, apa yang dititahkan oleh syarak [syariat] diterapkan melalui adat. Misalnya, Islam mengajarkan umatnya agar berkata atau berbicara dengan sopan dan arif bijaksana sesuai dengan situasi dan kondisi lawan bicara."

Dengan demikian, kehadiran rendang, sebagai sajian khas Minangkabau, juga sedianya sesuai dengan falsafah tersebut. Nasi Padang babi jelas melenceng jauh dari falsafah tersebut. Dalam ajaran Islam, babi dan segala elemennya haram untuk dikonsumsi.

"Penggunaan identitas Minangkabau dalam menu masakan Padang nonhalal ini jelas tidak lazim dan tidak bisa diterima," kata Guspardi.

Rendang sendiri merupakan sajian khas Minangkabau yang pamornya telah mendunia. Sajian yang berkali-kali masuk dalam daftar makanan terbaik dunia versi CNN ini umumnya menggunakan daging sapi sebagai bahan dasar.

Daging sapi ini dibumbui dengan aneka rempah dengan proses memasak yang lama. Cara memasak satu ini turut memengaruhi cita rasa rendang.

(els/asr)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK