"Hati-hati di jalan. Semoga jadi haji yang mabrur."
Kalimat yang diiringi doa itu kerap diucapkan untuk orang yang hendak melaksanakan ibadah haji. Apa sebenarnya makna dari haji yang mabrur?
Dilansir dari laman Kementerian Agama, mabrur berasal dari kata 'al mabrur' yang berakar dari istilah 'al birru', artinya kebaikan atau kebajikan. Merujuk pada istilahnya, haji mabrur berarti haji yang diterima Allah SWT.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menjadi seorang haji yang mabrur pun tidak datang tiba-tiba. Anda harus berusaha untuk mendapatkannya mulai dari sebelum, saat, dan setelah pelaksanaan ibadah haji.
Persiapan-persiapan itu dimulai dari memahami ajaran agama Islam. Pastikan rezeki yang digunakan untuk berhaji berasal dari sumber yang halal. Ibadah haji juga perlu dilakukan untuk meningkatkan amal ibadah.
Anda harus memastikan semua rukun, syarat, dan wajib haji terlaksana dengan baik. Anda harus benar-benar melaksanakan apa yang harus dan meninggalkan yang haram.
Meski begitu, diterima atau tidaknya ibadah yang Anda lakukan tetap menjadi keputusan Allah SWT. Kemabruran haji sendiri konon bisa dilihat dari aktivitas seseorang setelah pulang dari tanah suci.
Orang yang mendapat haji mabrur akan terus melakukan kebaikan, menjadi orang yang lebih saleh, dan selalu beramal jariah.
![]() |
Haji mabrur juga kerap dianggap sebagai gelar yang melekat pada setiap orang yang pulang dari tanah suci. Padahal, tidak semua umat yang melaksanakan ibadah haji lantas menjadi haji yang mabrur.
Menukil laman Muhammadiyah, rang yang menjadi haji mabrur sebaiknya bisa menggabungkan antara aspek keberimanan (amana) dengan amal saleh (amila al-shalihat), serta dapat menyeimbangkan antara hubungan dengan Allah (hablun minallah) dan mu'amalahnya dengan sesama manusia (hablun minannas).
Haji mabrur juga bisa diartikan sebagai investasi umat Islam. Proses mendapatkannya tidak hanya saat melakukan ibadah haji, tapi juga buah dari amalan-amalan yang dilakukan umat Muslim sebelumnya. Sebagaimana firman Allah berikut:
لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَـٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأَخِرِ وَٱلۡمَلَـٰٓٮِٕڪَةِ وَٱلۡكِتَـٰبِ وَٱلنَّبِيِّـۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَـٰمَىٰ وَٱلۡمَسَـٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآٮِٕلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّڪَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَـٰهَدُواْۖ وَٱلصَّـٰبِرِينَ فِى ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaikan (al-birr), akan tetapi sesungguhnya kebaikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (QS al-Baqarah/2: 177)