Istilah 'quiet quitting' mendadak jadi sorotan. Viral di media sosial, istilah ini merujuk pada kebiasaan kerja yang apa adanya atau kerja sesuai 'argo'.
Quiet quitting juga dianggap sebagai seruan untuk konsep bekerja yang lebih baik. Psikolog bahkan menilai quiet quitting bisa jadi salah satu cara untuk mencapai konsep work-life balance.
Meski dianggap memiliki konotasi negatif, namun para ahli sumber daya manusia justru beranggapan bahwa tren ini sejatinya memberikan dampak positif dan menyehatkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, dengan konsep ini, pekerja bisa menetapkan batasan yang lebih jelas dengan pekerjaan mereka.
Konsep ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru di dunia kerja. Akan selalu ada karyawan di perusahaan yang bekerja sesuai argo. Hal ini dianggap sebagai reaksi dari rasa lelah yang dialami pekerja.
Namun di zaman kiwari, tren ini kemudian didorong oleh Gen Z yang semakin menyadari pentingnya kehidupan seimbang.
Lantas, apa saja ciri-ciri seseorang sebenarnya melakukan quiet quitting?
Quiet quitting salah satunya bisa dilihat dari seberapa besar keterlibatan seorang karyawan dalam agenda-agenda perusahaan.
Jarang berpartisipasi dalam agenda perusahaan atau rapat bisa menandakan seseorang telah melakukan quiet quitting.
"Mereka menunjukkan kurangnya keterlibatan dan minat terhadap agenda-agenda perusahaan," ujar kepala operasional Market Cow, Jack Bishop, mengutip Reader's Digest.
![]() |
Kurangnya inisiatif juga bisa jadi salah satu tanda dari quiet quitting.
Misalnya, seorang pekerja yang jarang mengusulkan ide-ide tertentu. Alih-alih mengusulkan ide, mereka hanya melakukan hal-hal yang diperintahkan oleh atasan.
Bukan hal yang aneh jika seseorang yang melakukan quiet quitting mulai berhenti berinteraksi dengan rekan kerja yang lain.
Hal ini biasanya ditandai dengan minimnya waktu yang dihabiskan untuk mengobrol dengan teman, baik secara kasual maupun formal.
(asr)