Setiap Sabtu selama tujuh tahun terakhir, ada inisiatif pembersihan sungai oleh ratusan sukarelawan. Mala Kharel, anggota eksekutif High Powered Committee for Integrated Development of the Bagmati Civilization, tak pernah absen dalam kegiatan ini.
Bersama komite yang fokus membantu membersihkan sungai, sekian banyak kampanye selama bertahun-tahun mampu mengumpulkan sekitar 80 persen sampah di sepanjang tepi sungai.
Akan tetapi, upaya pembuangan sampah kurang sempurna baik karena masalah di pengumpulan sampah maupun lebih banyak yang dibuang daripada yang dibersihkan. Apalagi orang telah membangun gubuk ilegal di sepanjang sungai dan menolak pergi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kharel mengatakan komite sedang mengerjakan beberapa proyek pembangunan kanal dan pipa menuju saluran pembuangan sehingga limbah tidak masuk sungai. Pekerjaan ini dimulai sekitar 2013 tetapi belum ada pengumuman tanggal penyelesaian.
"Dalam 10 tahun ke depan, saya berharap sungai akan mengalir jernih dan tepiannya bersih dan ditumbuhi pepohonan. Kami bekerja keras dengan target ini," imbuhnya.
Hanya saja, ada rasa pesimis bahwa Bagmati bisa kembali seperti sediakala. Madhukar Upadhya, ahli daerah aliran sungai (DAS), mempelajari sungai dan mengatakan dasar sungai tidak lagi memiliki pasir.
Sungai dilapisi tanah liat campur bahan kimia yang dibuang oleh aktivitas industri termasuk pembuat karpet tenunan tangan. Bagmati, kata dia, merupakan sungai alami dan bukan saluran yang bisa dibersihkan dengan mudah.
"Begitu banyak kerusakan yang telah terjai padanya sehingga mungkin dapat dibersihkan sampai tingkat tertentu tetapi tidak dikembalikan ke kejayaan di masa lalu," jelasnya.
Senada dengan Upadhya, pendeta Hindu Pandit Shivari Subedi mengatakan perlu ada keajaiban untuk 'menyucikan' Bagmati. "Untuk membersihkan air secara alami, atas izin Tuhan, perlu ada aliran air besar yang menyiram kotoran," katanya.
(els/wiw)