Baju yang dijual di pasar thrifting biasanya bersifat 'limited edition'. Jarang ada pakaian yang sama tersedia dalam jumlah lebih dari dua potong.
Umumnya, bahkan satu pakaian hanya tersedia dalam satu potong. Hal ini dianggap membuat baju-baju bekas itu dianggap unik.
"Kalau beli baju baru misal di toko itu, kan, berderet sama jadi tidak unik. Kalau di pasar loak hanya ada satu, entah ada dimana lagi kembarannya, makanya terasa unik," kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konten kreator berpengaruh besar terkait budaya thrifting ini. Budaya ini menjadi dikenal luas karena banyaknya kreator konten yang mempromosikan kegiatan belanja barang bekas mereka melalui akun media sosial.
"Akhirnya orang tertarik dan kemudian mencobanya. Oh, ternyata murah, oh, ternyata bagus. Jadi-lah budaya ini makin digemari banyak orang," katanya.
Kebutuhan eksistensi, ingin terlihat keren, dan selalu berganti pakaian di setiap kesempatan yang berbeda membuat budaya thrifting kian diminati. Dengan cara ini, kebutuhan eksistensi yang semakin besar dapat terpenuhi tanpa harus merogok kocek terlalu dalam.
Namun tentunya, thrifting yang dikenal saat ini berbeda dengan yang dulu. Bahkan, beberapa barang atau baju bekas kini terkesan mahal. Hal ini, menurut Devie, terjadi karena tingginya minat akan gaya hidup tersebut.
"Hukum pasar, makin tinggi peminat, mereka makin naik harga. Kalau dulu mungkin masih bisa nemu kaos Nike yang harganya Rp5 ribu, sekarang Rp50 ribu saja sudah agak sulit," katanya.
(tst/asr)