Di salah satu ruko seluas delapan meter persegi, mata Rian Priatna terlihat serius memelototi jaket-jaket bekas dari tumpukan karung.
Satu per satu pakaian bekas itu ia pilah. Mengecek resleting, kancing, dan warna jaket yang akan disalurkan ke pelanggannya atau yang menjadi reseller dagangannya.
"Tidak selalu di online laku barangnya, otomatis kita sediakan bagi yang beli di sini langsung," kata Rian saat berbincang kepada CNNIndonesia.com di salah satu jongko kawasan Pasar Cimol Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat, September lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rian merupakan satu dari puluhan pemilik grosir Cimol, kepanjangan dari Cibadak Mall. Area di dalam Pasar Induk Gedebage, Kota Bandung ini khusus menjual pakaian bekas.
Pasar Cimol Gedebage berawal sejak tahun 1990-an. Dimulai dari pedagang emperan yang menjajakan pakaian bekas di sepanjang Jalan Cibadak. 'Cimol' sendiri merupakan singkatan dari 'Cibadak Mall'.
Seiring berjalannya waktu, Cimol terus berpindah-pindah tempat. Meski begitu, orang tetap menamainya Cimol.
Setelah berkali-kali berpindah tempat, para penjual kini menetap di sebuah gedung yang terletak di dalam Pasar Induk Gedebage di timur Kota Bandung.
Pasar Cimol Gedebage mengalami masa jaya di era awal 2000-an. Kala itu, pasar jadi rujukan fesyen banyak orang. Hampir setiap pekan pasar selalu dibanjiri pembeli.
Tumpukan karung berisi pakaian bekas dari Jepang tersebut baru tiba hari itu. Menurut Rian, di antara tumpukan karung-karung itu ada banyak pakaian bermerek yang masih layak jual.
Jika beruntung, ada pakaian berlabel ternama dengan kondisi lumayan bagus. Tetapi ada pula banyak pakaian 'sampah' yang sulit dijual kembali ke pelanggan.
"Barang, kan, bisa disortir. Ada yang bisa dijual Rp50 ribu-Rp60 ribu. Barangnya yang dipisahkan, biasanya buat penjual online," ujar Rian.
![]() |
Adanya tren thrifting sekaligus ajang pekan mode anak-anak Citayam di zebra cross Dukuh Atas beberapa waktu lalu membuat pedagang pakaian bekas seperti Rian kian bersemangat. Musababnya, ia seakan mendapatkan napas baru yang terus merugi semenjak hampir tiga tahun pandemi Covid-19.
"Alhamdulilah, sejak adanya tren fesyen itu di sini kembali ada peningkatan omzet penjualan. Memang tergantung baju yang dijual, apakah bermerek atau tidak, kondisinya bagus atau tidak, tapi yang pasti ada peningkatan omzet yang cukup signifikan," tuturnya.
Ada beragam harga yang ditawarkan di lapaknya. Mulai dari harga Rp50 ribu hingga Rp150 ribu untuk jenis jaket army, bulu angsa, parka, hingga outdoor. Pelanggan Rian malah banyak yang mencari barang dengan harga di atas Rp100.000, bahkan ada yang Rp300.000 ke atas.
"Tergantung brand dan merek. Bahkan, ada pelanggan yang minta khusus dicarikan produk yang bagusnya saja," katanya.
Menurut Rian, peminat thrift di Pasar Cimol Gedebage tak hanya melihat dari sisi fungsional pakaian. Tapi mereka percaya diri jika tampil dengan brand-brand ternama, meski barang second-hand.
"Sekarang, mah, kebanyakan orang tertarik barang second tapi orisinal. Memang, produk lokal sebenarnya bagus, tapi orang lebih suka merek," cetusnya.
Baju buangan impor itu, menurut Rian, memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan produk tekstil lokal kualitas baru. Modelnya juga variatif dan lebih nyaman digunakan.
"Kita banyaknya dari Jepang sama Korea. Kadang kalau lagi beruntung, kita bisa menemukan yang di dalamnya," ucap Rian.
Selain Jepang dan Korea Selatan, beberapa jenis pakaian bekas ada yang berasal dari Amerika Serikat, Taiwan, Malaysia, Singapura, bahkan Eropa.
"Dari Amerika ada, tapi paling nyelip satu dua," kata Rian.
Simak selengkapnya soal Pasar Cimol Gedebage di halaman berikutnya..