Salah satu pertanyaan yang muncul usai Kementerian Kesehatan melarang 102 obat yang sempat dikonsumsi pasien gagal ginjal akut adalah alternatif obat untuk anak-anak bila sakit.
Bagaimana bila sebagian obat tidak bisa dibuat dalam bentuk serbuk atau puyer? Belum lagi ada anak yang tidak bisa mengonsumsi obat dalam bentuk serbuk apalagi pil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam diskusi bersama Polemik MNC Trijaya, Sabtu (22/10), juru bicara Dewan Pakar Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Prof Keri Lestari menyebut masyarakat bisa mempertimbangkan terapi non-farmakologi.
Bila terapi farmakologi adalah terapi menggunakan obat, maka terapi non-farmakologi adalah terapi selain dengan obat. Keri menyebut, IAI saat ini memang tengah menggalakkan terapi non-farmakologi ke publik.
Kata Keri, masyarakat bisa menangani demam dengan kompres atau dibalur bawang merah. Namun jika gejala penyakit belum kunjung reda, obat bisa jadi solusi tetapi tetap harus berkonsultasi dengan dokter.
"Intinya, kalau selama ini demam sedikit lalu cari obat ke warung, kami mengimbau pada masyarakat untuk saat ini dan juga ke depan, mengutamakan untuk membeli obat di faskes (fasilitas kesehatan)," kata Keri.
Meski begitu, Keri menyebut bila sang anak menghadapi kondisi kegawatdaruratan dan hanya tersedia obat dalam bentuk sirop, maka penggunaannya masih dimungkinkan asal dalam pengawasan tenaga ahli.
"Untuk masalah kedaruratan, untuk masalah life saving, itu dimungkinkan dengan resep dokter," kata Keri. "Maka apoteker juga harus menyediakan obat dan turut mengawal bersama dengan dokter dan apoteker atas penggunaan obat tersebut."
Kemenkes sebelumnya mengonfirmasi bahwa ada temuan senyawa berbahaya etilen glikol (EG), dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol butil ether (EGBE) pada 7 dari 11 pasien gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA).
Dari temuan ini, dicek pula obat-obatan yang dikonsumsi anak sebelum sakit. Sebanyak 102 obat yang ditemukan, sebagian besar mengandung EG, DEG, dan EGBE.
"Obat ini akan kami larang untuk diresepkan dan dijual. Ini daftar sementara. Kalau mereka [perusahaan] bisa membuktikan cemaran di bawah ambang batas, kita ambil langkah-langkah konservatif, memproteksi bayi-bayi kita." kata Menkes Budi Gunadi.
![]() |
Keri menuturkan saat ini semua pihak sedang bergerak baik BPOM, Kemenkes dan perusahaan obat untuk melakukan self assessment termasuk melihat kembali dari bahan baku yang ada di sarana produksi dan produk akhir.
Sebenarnya tiga senyawa cemaran ini jika masih di bawah ambang batas toleransi, tidak akan masalah.
"Jika ada [cemaran], selama tidak melebihi ambang batas yang ditoleransi tidak masalah. [Sebanyak] 0,1 persen EG dan DEG di propilen glikol dan ada di gliserin. Sedangkan kalau di polietilen glikol itu tidak boleh melebihi 0,25 persen." kata Keri.
(els/end)