2 Pola Asuh yang Salah dan Buat Anak Jadi Trauma Inner Child

CNN Indonesia
Jumat, 28 Okt 2022 18:45 WIB
Tanpa disadari nyatanya ada beberapa kesalahan pola asuh orangtua yang justru membuat anak mengalami trauma inner child.(AdinaVoicu/Pixabay)
Jakarta, CNN Indonesia --

Orangtua pasti punya caranya sendiri untuk mengasuh anak. Namun tanpa disadari nyatanya ada beberapa kesalahan pola asuh orangtua yang justru membuat anak mengalami trauma inner child.

Inner child sendiri merupakan sebuah konsep dalam pola asuh orang tua. Anak-anak yang memiliki kenangan yang negatif tentu akan terus mengingat reaksi-reaksi negatif tersebut hingga dewasa.

Pada masa anak-anak, otak sedang membangun pondasinya di mana akan menopang neuron-neuron setelahnya. Kalau pada masa ini Si Kecil memiliki banyak memori negatif, ingatan tentang rasa takut, terbawa perasaan, dan sebagainya, akan muncul kembali.

Pola asuh yang membentuk inner child

Ada dua pola asuh yang dipercaya bisa membentuk trauma inner child pada anak. Kedua pola asuh ini adalah otoriter dan uninvolved. Berikut pola asuh orangtua yang bisa membuat anak jadi trauma, menurut Psikolog Danang Baskoro. 

1. Pola asuh otoriter

Pola asuh otoriter merupakan pola asuh yang tidak melihat keinginan anak. Anak diwajibkan harus menurut, bahkan sering kali dilakukan dengan tindak kekerasan seperti memukul hingga menendang.

Pola asuh otoriter dapat menyebabkan anak merasa terluka. Hal ini karena anak membutuhkan kesempatan untuk mengambil keputusan, inisiasi sendiri, serta perlu mengembangkan egonya.

2. Pola asuh uninvolved

Pola asuh uninvolved merupakan kebalikan dari pola asuh otoriter. Pada pola asuh ini, orang tua cenderung tidak mengurus dan mengabaikan anak-anaknya.

Ketika hal ini terjadi, anak akan menjadi bingung dan tidak bisa memvalidasi perilakunya. Biasanya, anak-anak remaja dengan pola asuh ini akan mencari validasi dari orang-orang di sekitarnya seperti anak-anak lainnya atau per grupnya.

Lebih parahnya, anak yang diasuh dengan cara uninvolved tidak bisa percaya diri ketika sudah dewasa. Mereka juga labil dalam hal pengambilan keputusan.

Cara Marah yang 'Benar' ke Anak

Marah merupakan perasaan yang normal dimiliki setiap orang, termasuk orangtua pada anak. Namun ingat, harus dikontrol dengan baik.

Memarahi anak perlu dilakukan orang tua sebagai bentuk ketegasan. Tapi tetap dengan kontrol emosi agar tidak menjadi perilaku impulsif.

Ketika memarahi anak dan menyesal setelahnya, itu tandanya Bunda tidak bisa mengukur kemarahan dan merencanakan sejauh mana Bunda akan marah.

Artinya, marah yang dikeluarkan hanyalah salah satu sikap spontan dan impulsif. Sebaliknya, kalau Anda marah karena menghukum Si Kecil dan tahu apa alasan Anda memarahinya, itu tandanya kemarahan sudah terukur. Marah tidak diukur dengan cara berteriak.

Hal yang perlu dilakukan setelah marah agar anak tak sakit hati
Anak-anak yang dimarahi mungkin akan merasa sakit hati. Namun, ada hal yang bisa dilakukan agar anak tidak sakit hati, Berikut ini deretannya:

1. Ketahui alasan marah

Setelah marah, anak mungkin akan merasakan sakit hati. Jadi itu, sebelum marah, Bunda harus tahu alasan kenapa sampai marah sehingga bisa mereka mengerti setelahnya.

2. Jangan berlebihan

Ketika marah, Bunda pasti akan memperlihatkan ekspresi wajah dan nada bicara yang berbeda. Karena itu, jangan sampai mengeluarkan ekspresi wajah yang menakutkan serta nada yang meninggi.

Jangan lakukan marah dengan cara yang meledak-ledak. Lakukanlah marah dengan cara yang tegas sehingga Si Kecil mengerti konsekuensi yang harus ia terima.

3. Jelaskan

Jelaskan pada anak apa alasan Bunda memarahinya. Ketika ia mengetahui apa yang membuat Bunda marah, anak akan bertanggung jawab dan mulai menunjukkan perubahan.

KLIK DISINI UNTUK ARTIKEL SELANJUTNYA

(chs)


KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK