Denpasar, CNN Indonesia --
Dinas Pariwisata Provinsi Bali mencatat sudah ada sebanyak 238 desa wisata di wilayah di Pulau Dewata. Namun, dari jumlah itu, masih banyak yang tidak termasuk dalam desa wisata kategori maju dan mandiri.
Jumlah desa wisata di Bali naik ketika pandemi Covid-19 turut melanda Indonesia. Sebelumnya, desa wisata sebelum Pandemi Covid-19 berjumlah 179 desa, yang tersebar di 9 kabupaten dan kota di Pulau Bali.
"Yang sudah ditetapkan ada 238 desa wisata. Dengan Pandemi Covid-19 kemarin ini, banyak bermunculan desa wisata sampai sekarang 238 desa wisata," kata Ida Bagus Adi Laksana selaku Kepala Bidang Destinasi Pariwisata dari Dinas Pariwisata Provinsi Bali, saat dihubungi, Kamis (26/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menjamurnya desa wisata, karena pada saat pandemi Covid-19 banyak warga yang menjadi pelaku pariwisata kembali ke desa untuk mengembangkan desanya dan menjadi obyek wisata yang menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
"Dan itu salah satunya dilakukan pelaku-pelaku pariwisata yang dulunya kerjanya di pariwisata ingin membangun desanya kembali," imbuhnya.
Namun, dari 283 desa wisata hingga saat ini hanya tercatat ada30 desa wisata kategori maju dan mandiri. Rinciannya, ada 101 desa wisata kategori rintisan, 107 kategori berkembang, 27 kategori maju, dan 3 desa wisata kategori mandiri.
 Tradisi perang air di Desa Suwat, Gianyar, Bali. (Antara Foto/Fikri Yusuf/rwa.) |
Adi Laksana menyebutkan, untuk membangun desa wisata menjadi kategori maju atau mandiri, tentu tergantung komitmen semua pihak, termasuk Pemerintah Daerah (Pemda), masyarakat desa baik Desa Dinas dan Desa Adat dan bukan hanya pihak pengelola desa wisata.
"Tidak serta merta pengelola saja yang bergerak. Karena kalau bicara desa tidak lepas dengan adanya dorongan Desa Dinas. Terutamanya kepala desanya yang harus memberikan motivasi ke masyarakat yang mau membangun desa wisata dengan tata kelolanya," jelasnya.
Dia juga menyatakan, masih banyak desa wisata yang tidak berjalan, karena kurangnya inovasi dan belum ada keunikan yang bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan dan lain sebagainya. Kendati, saat ini desa wisata yang stagnan itu belum ada yang tutup.
Ida Bagus Adi mencontohkan, ada desa wisata yang berjalan dengan memanfaatkan sungai yang sebagai daya tarik dengan memfasilitasi tempat yoga dan wisatawan melihat itu secara spiritual.
Tapi ada juga desa wisata yang belum bergerak dan berjalan, karena kurangnya inovasi dan lain sebagainya. "Seperti sekarang banyak sungai dipakai daya tarik dan dibuatkan semacam senam yoga dan itu semacam keunikan di desa itu," ucapnya.
Dan wisatawan kan melihat spritual dan dari sanalah mulainya bergerak. Dan permasalahan sekarang ini yang menggerakkan ini. Karena, secara legal formalnya berdasarkan penetapan itu kan sudah leluasa ini pengelola desa wisata.
"Kadang orang berpikiran dari ditetapkan desa wisata ujug-ujugnya mungkin hanya melihat bantuan, kan itu yang kita hindari," ungkapnya.
Dia menyebut, banyak desa wisata yang tidak produktif atau stagnan dan ke depannya perlu ada evaluasi dari Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota di Bali. Karena, Dinas Pariwisata Bali sifatnya hanya memonitor dan memfasilitasi.
"Banyak (desa wisata yang stagnan) perlu evaluasi lagi desa wisata. Karena itu kewenangan (Pemda) Kabupaten. Contoh yang ada di Singaraja (Kabupaten Buleleng), ada 75 desa wisata, dulunya 30 (desa wisata) dan itu harus dievaluasi sekarang," ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga meminta Pemda harus memberikan contoh dalam artian membuat satu pilot projects dan membuat masyarakat bergerak untuk memajukan desa wisatanya sehingga berhasil menarik wisatawan datang.
"Kalau hanya menetapkan saja tidak bergerak kan percuma. Kalau (desa wisata yang) tutup sih belum, istilahnya tidak berjalan atau stagnan. Karena atraksinya kurang menarik, sebenarnya kerjasama antara masyarakat itu sendiri di Desa Dinas dengan komunitas yang ada dan ini harus berani mempelopori," ujarnya.
Ia juga mencontohkan, desa wisata yang cukup maju dan mandiri seperti Desa Wisata Penglipuran, di Kabupaten Bangli, Bali. Karena, di sana mekanisme sudah lama dibentuk oleh masyarakat dan Desa Adat sehingga menjadi daya tarik wisata dengan desa salah satu yang terbersih di dunia.
"Dan desa wisata yang baru-baru ini, kan dia sendiri pendekatannya kurang berani. Persyaratan desa wisata harus betul-betul dievaluasi tahap demi tahap. Komitmen desa bisa mendorong apa yang harus dikembangkan di desa itu dan harus didukung. Kemudian, harus dibantu dengan membuatkan master plan perjelas keberadaannya. (Kalau) tahapan hanya sepotong-sepotong saja tidak jalan," ujarnya.
Berikut tahapan pengembangan desa wisata dari rintisan hingga mandiri.
 Tradisi Mekotek di Desa Munggu, Badung, Bali. (Antara Foto/Nyoman Hendra Wibowo) |
1. Desa Wisata Rintisan
Masih berupa potensi yang dapat dikembangkan untuk menjadi destinasi wisata. Pengembangan sarana dan prasarana wisata terbatas. Sangat diperlukan pendampingan dan pihak terkait (pemerintah dan swasta).
2. Desa Wisata Berkembang
Sudah mulai dikenal dan dikunjungi, masyarakat sekitar dan pengunjung dari luar daerah. Sudah terdapat pengembangan sarana prasarana dan fasilitas pariwisata dan masih memerlukan pendampingan dari pihak terkait pemerintah dan swasta.
3. Desa Wisata Maju
Masyarakat sudah sepenuhnya sadar akan potensi wisata termasuk pengembangannya. Sudah menjadi destinasi wisata yang dikenal dan banyak dikunjungi oleh wisatawan, termasuk wisatawan mancanegara dan masyarakat sudah berkemampuan memanfaatkan dana desa untuk pengembangan desa wisata.
4. Desa Wisata Mandiri
Masyarakat sudah memberikan inovasi dalam pengembangan potensi wisata desa, diverifikasi produk menjadi unit kewirausahaan yang mandiri. Sudah menjadi destinasi wisata yang dikenal oleh mancanegara dan sudah menerapkan konsep keberlanjutan yang diakui oleh dunia.
Selain itu, desa sudah mampu memanfaatkan digitalisasi sebagai bentuk promosi mandiri atau mampu membuat bahan promosi dan menjual secara mandiri melalui digitalisasi dan teknologi.