Jika berpakaian adalah bentuk ekspresi diri, maka pakaian yang dihasilkan AI mungkin tidak hanya mengurangi kekuatan dan pesan yang melekat pada pakaian - tetapi juga otonomi seseorang.
Dalam kepausan, setiap pakaian memiliki makna religius. Warna jubah Paus dipilih secara khusus agar selaras dengan perayaan tertentu.
Misalnya, merah hanya dapat dikenakan pada acara-acara tertentu, seperti Minggu Palem, Jumat Agung, dan Pentakosta. Sebab merah melambangkan darah Yesus Kristus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, gambar palsu Paus yang mengenakan pakaian tertentu di luar ini - atau dalam konteks lain yang tak terhitung jumlahnya - dapat menyebabkan pelanggaran, kekhawatiran, atau bahkan ketidakpercayaan umat Katolik.
Mengubah pakaian seseorang secara digital juga dapat merusak reputasi yang bertahan lama. Foto pada 2005 yang direkayasa memperlihatkan Paris Hilton di klub malam mengenakan tank top inflamasi bertuliskan "Berhenti Menjadi Miskin" menjadi salah satu gambar budaya pop yang paling dikenal.
Hal ini tentu menambah persepsi publik tentang Hilton sebagai ahli waris yang tidak tersentuh. Dia secara terbuka membahas gambar palsu itu pada 2021, bersikeras bahwa orang tidak boleh "percaya semua yang Anda baca".
Selama konferensi di Vatikan pada hari Senin, Paus Francis membahas munculnya teknologi AI dan mendesak para ilmuwan untuk mempertimbangkan dampaknya terhadap manusia. Meskipun dia tidak secara khusus merujuk kehebohan atas pemalsuan penampilannya sendiri.
"Saya yakin bahwa pengembangan kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin memiliki potensi untuk berkontribusi secara positif bagi masa depan umat manusia," kata Francis.
"Saya yakin potensi ini akan terwujud hanya jika ada komitmen konstan dan konsisten dari pihak yang mengembangkan teknologi ini untuk bertindak secara etis dan bertanggung jawab," kata dia.
(chs/chs)