Budaya Indonesia memang sangat beragam. Begitu juga dengan kulinernya.
Tapi, makanan Indonesia yang dikenal di seantero dunia tak jauh dari rendang sapi dan nasi goreng. Padahal, olahan hewan lainnya juga banyak yang bisa dinikmati, termasuk di antaranya yang tak lazim tadi.
Tengok saja sajian paniki dari Sulawesi Utara. Olahan daging kelelawar satu ini disebut sangat khas karena dimasak dengan campuran rempah dan santan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain kelelawar, ada juga olahan daging monyet dan biawak yang bisa ditemukan di Papua.
Tapi, makanan ekstrem asal Indonesia kalah pamor dari Thailand hingga Filipina. Padahal, keberadaannya telah dimulai bahkan sebelum memasuki abad ke-13.
Sejarawan kuliner dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Fadly Rahman menyebut bahwa memakan daging hewan tak biasa atau yang biasa dikenal dengan istilah ekstrem adalah kebiasaan yang umurnya sudah cukup tua di Indonesia.
Jika ditelusuri, tercatat makanan-makanan ekstrem sudah dikonsumsi masyarakat Indonesia sebelum abad ke-13, tepatnya sebelum Islam mulai masuk ke Nusantara.
"Kalau ditelusuri sumber sejarah dan penelitian-penelitian para ahli itu memang sudah sangat tua. Ya, sebelum abad ke-13 lah. Sudah banyak [orang] yang makan daging monyet, ular, kelelawar. Daging-daging itu sudah lama sekali," kata Fadly saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (8/6).
Fadly juga mengatakan bahwa keberadaan makanan ekstrem di Indonesia juga dibuktikan dari berbagai prasasti, manuskip, hingga hasil penelitian para ahli.
Makanan ekstrem juga erat dengan persembahan yang biasa mengiringi ritual-ritual kuno para leluhur. Misalnya melalui upacara-upacara tertentu yang sebagian besar masih dilakukan di Indonesia hingga saat ini.
"Sekarang, walau tidak banyak, masih ada ritual-ritual budaya yang masih sangat kental, meski memang tidak terang-terangan pakai daging monyet atau daging hewan-hewan ekstrem ini," katanya.
![]() |
Seiring berjalannya waktu, budaya makanan ekstrem ini pun terkikis, utamanya saat Islam masuk ke Nusantara.
Daerah-daerah dengan mayoritas penduduk Muslim menolak konsumsi makanan yang bersumber dari daging hewan yang dilarang agama.
Tapi, di wilayah-wilayah dengan umat Muslim sebagai minoritas, makanan ekstrem masih bisa ditemukan dengan mudah.
Fadly mencontohkan di wilayah Sumatera Utara dan yang paling terkenal, Pasar Tomohon, Manado, Sulawesi Utara.
"Tapi, ya, emang beda kalau dengan negara lain yang [kuliner ekstremnya] jadi tradisi kuliner dan wisata. Di kita, ya, makanan biasa saja jadinya," kata Fadly.
Fadly menilai salah satu pasalnya adalah soal keyakinan. Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, makanan-makanan ekstrem tentu jadi hal yang tak lumrah atau bahkan dilarang.
Tapi, bukan berarti budaya kuliner ekstrem itu padam. Sebab, suka atau tidak, meski tidak banyak, kuliner ekstrem tetap menjadi warna tersendiri di Indonesia dan hadir di sejumlah daerah tertentu.
Kuliner ekstrem akan tetap eksis meski tak dipromosikan sebagai salah satu daya tarik wisata.
Toh, pengalaman kuliner pada dasarnya adalah soal preferensi. Rasa yang dicecap masing-masing lidah juga akan berbeda.
Kadang, dalam beberapa kasus, rasa yang dicecap akan berbeda dengan ekspresi yang keluar ketika melihat satu sajian pertama kali. Dalam contoh kuliner ekstrem, dari mulanya jijik dan ngeri, tak disangka-sangka justru rasanya bikin lidah ketagihan.
"Silakan saja, mau coba silakan. Karena Indonesia memang budayanya kaya, termasuk urusan kulinernya," pungkas Fadly.
(asr/asr)