Belakangan ini, polusi udara Jakarta masih dalam kondisi yang mengkhawatirkan. Tak hanya kesehatan fisik, sejumlah studi telah mengungkap paparan polusi yang tinggi juga dapat meningkatkan risiko gangguan mental dan depresi.
Studi tahun 2022 menemukan bahwa anak-anak yang terpapar polusi udara yang tinggi dan kurang terpapar ruang terbuka hijau memiliki risiko lebih tinggi terkena ADHD (attention deficit hyperactivity disorder).
Mengambil data dari 37.000 anak di Vancouver, Kanada, para peneliti menemukan bahwa polusi udara yang lebih tinggi akibat partikel PM2.5 dan tingkat ruang hijau yang sangat rendah dapat meningkatkan risiko ADHD pada masa kanak-kanak hingga 62 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebaliknya, anak-anak yang tinggal di daerah yang lebih hijau dan lebih sedikit polusi memiliki risiko 50 persen lebih rendah terkena gangguan mental.
Para peneliti memperhitungkan frekuensi ADHD dengan variabel-variabel seperti efek yang mungkin terjadi dari paparan polusi udara dalam kaitannya dengan ADHD, kemungkinan hubungan antara paparan lingkungan hijau, hingga kebisingan pada awal kehidupan.
ADHD merupakan salah satu gangguan perkembangan saraf yang paling umum yang memengaruhi 5-10 persen anak-anak. Gangguan ini dapat disebabkan oleh paparan racun lingkungan seperti timbal, penggunaan obat terlarang oleh ibu, penggunaan alkohol, atau merokok selama kehamilan, dan sekarang, polusi udara.
Umumnya, anak dengan ADHD memiliki beberapa permasalahan yang bertahan dalam jangka panjang. Masalah-masalah itu di antaranya adalah kesulitan mempertahankan fokus, hiperaktif, dan perilaku impulsif.
Diterbitkan di jurnal Environment International, para peneliti mengambil data administratif kelahiran di Metro Vancouver, Kanada, antara tahun 2000-2001. Mereka mengambil data kasus ADHD dari catatan rumah sakit, kunjungan dokter, dan resep dokter, dengan melihat tingkat keparahan dan paparan lingkungan.
Untuk menghitung jumlah ruang hijau di lingkungan tempat para peserta berasal, para peneliti memperkirakan dengan metrik satelit. Sementara tingkat dua polutan udara di lingkungan tempat tinggal, yakni NO2 dan PM2.5, serta tingkat kebisingan diperkirakan dengan menggunakan model pemaparan yang tersedia.
Dari jumlah tersebut, mereka menemukan sekitar 1.217 kasus ADHD, yang setara dengan 4,2 persen dari total populasi penelitian.
Ketika menganalisis ruang hijau, penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan yang tinggal di daerah dengan persentase vegetasi yang lebih tinggi memiliki risiko ADHD yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan persentase vegetasi sebesar 12 persen dikaitkan dengan penurunan risiko ADHD sebesar 10 persen.
Sebaliknya, ketika memperkirakan efek polusi udara, hubungan yang berlawanan dicatat dengan PM2.5, di mana partisipan dengan paparan partikel halus yang lebih tinggi memiliki risiko ADHD yang lebih tinggi. Setiap peningkatan 2,1 µg pada tingkat PM2.5 diterjemahkan ke dalam peningkatan risiko ADHD sebesar 11 persen.
Hubungan antara ruang hijau dan polusi udara dengan ADHD merupakan cerminan dari penelitian sebelumnya tentang ADHD. Namun, sebagian besar penelitian lain berfokus pada evaluasi paparan tunggal dan jarang menghitung efek gabungan dari beberapa paparan lingkungan, seperti ruang hijau dan kebisingan.
"Kami mengamati bahwa anak-anak yang tinggal di lingkungan yang lebih hijau dengan polusi udara yang rendah memiliki risiko ADHD yang jauh lebih rendah. Ini adalah ketidaksetaraan lingkungan di mana, pada gilirannya, anak-anak yang tinggal di daerah dengan polusi yang lebih tinggi dan kurang hijau menghadapi risiko yang lebih besar secara tidak proporsional," kata penulis utama Matilda van den Bosch, melansir laman Open Access Government.
Menurut dia, keterkaitan ini sangat relevan karena paparan terjadi pada masa awal kehidupan, periode yang sangat penting bagi perkembangan otak di mana anak-anak sangat rentan.
"Yang penting, paparan ini dapat dimodifikasi, yang berarti bahwa temuan ini harus dipertimbangkan untuk perencanaan kota yang lebih sehat," lanjut dia.
"Temuan kami juga menunjukkan bahwa hubungan antara PM2.5 dan ADHD dilemahkan oleh ruang hijau perumahan dan sebaliknya, seolah-olah efek menguntungkan dari vegetasi dan efek berbahaya dari PM2.5 saling menetralkan satu sama lain," ucap penulis lainnya, Weiran Yuchi.