Suara ketikan keyboard laptop berukuran 13 inci terdengar nyaring di kamar Ika (23). Wanita itu terlihat sangat serius di depan layar. Jari-jarinya sibuk mengetik, memasukkan angka-angka di laporan berjudul nilai akhir siswa kelas tiga.
Benar, Ika adalah guru sekolah dasar di sebuah sekolah SD di Ciamis, Jawa Barat. Ika adalah guru honorer yang direkrut langsung pihak sekolah untuk membantu mengajar beberapa kelas di sekolah tersebut.
Ika sendiri merasa mengajar anak-anak sekolah dasar adalah impiannya sejak kecil. Kesempatan itu dia dapat sekitar 4 tahun lalu saat baru lulus SMK dan sedang bingung mencari kerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu guru SD menawarkan pekerjaan sebagai tenaga honorer kepadanya. Kala itu, Ika ditawari untuk mengajar anak-anak di kelas tiga. Tanpa pikir panjang, Ika langsung menerima tawaran tersebut.
"Waktu itu hanya ditawari untuk mengajar anak kelas tiga. Kebetulan sekolah kekurangan guru banget. Di sekolah itu guru PNS-nya cuma dua orang. Satu kepala sekolah dan satu guru biasa," kata Ika bercerita kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/10).
Lihat Juga : |
Tapi, satu tahun setelah resmi mengajar dan menjadi wali kelas siswa kelas tiga SD, tanggung jawabnya ditambah. Ika diberi mandat untuk mengajar di kelas dua dan lima, meskipun bukan sebagai wali kelas.
Meski demikian, Ika tidak menolak. Toh siswa di sekolah ini juga tidak banyak. Total siswanya juga tak sampai 200 orang dari anak kelas 1 hingga 6 SD itu.
"Memang sedikit, waktu itu anak kelas tiga tempat saya mengajar aja cuma 12 orang siswanya," kata Ika.
![]() |
Sayangnya, tugas yang bertambah ini tidak sejalan dengan gaji yang diperoleh setiap bulan. Pada kesepakatan awal saat Ika ditawari mengajar di sekolah itu, pihak sekolah secara terang-terangan mengaku tak mampu membayar mahal.
Ika hanya dibayar Rp150 ribu setiap bulannya. Jumlah ini juga kadang telat bayar, tergantung dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang turun dari pusat.
Terkadang jika sedang musim panen beberapa orang tua siswa juga memberi Ika beras atau gabah. Hal ini sebagai bentuk ungkapan terimakasih karena sudah mengajarkan anak-anak mereka membaca dan menulis.
"Saya ikhlas saja, toh saya juga sebetulnya tidak layak jadi guru, kan hanya lulusan SMK," kata dia.
Di sekolah ini total tenaga honorer berjumlah tiga orang termasuk dirinya. Sekolah juga memiliki dua orang guru yang salah satunya menjabat sebagai kepala sekolah.
Karena Ika yang masih muda dan lajang, pihak sekolah pun memutuskan agar Ika memegang tiga kelas sekaligus.
Ika mengaku tak keberatan, toh, anak-anak ini juga menggemaskan dan memiliki tekad belajar yang kuat.
"Meskipun sangat kekurangan fasilitas dan tenaga pengajar tapi mereka semangat sekali kalau sekolah. Makanya meskipun hanya dibayar Rp150 ribu saya ikhlas," katanya.
Untuk memenuhi kebutuhannya, Ika berjualan sembako di rumah. Warung itu dikelola orang tuanya yang memang tinggal bersama Ika.
"Saat ini saya ambil kuliah kelas karyawan keguruan. Bukan untuk mengejar jadi PNS atau digaji besar, saya cuma ingin memberi yang terbaik buat siswa-siswa saya ke depannya," kata dia.
Jika Ika rela dibayar Rp150 ribu setiap bulannya untuk jadi guru honorer di SD, Ikin (43) justru tak menerima bayaran uang sama sekali. Ikin adalah kyai muda di kampung Wanarasa, dia sudah tinggal dan menetap di Wanarasa hampir 20 tahun lamanya.
Di Wanarasa, Desa yang berada di wilayah Ciamis itu, Ikin mengajar ilmu agama Islam. Mulai dari mengajar ngaji, bacaan doa, hingga praktik salat.
"Sekitar 20 tahun lalu pas lulus pesantren langsung diajak ke sini. Katanya di sini kekurangan ustaz," katanya.
Kala itu, Ikin menyanggupi. Dia juga memboyong istrinya yang tengah hamil muda untuk tinggal di Wanarasa meninggalkan ingar bingar kota Bandung yang merupakan kampung halaman suami-istri ini.
Katanya, dia hanya disuruh membawa badan dan beberapa potong pakaian. Terkait rumah dan sepetak lahan untuk bertani sudah disediakan warga desa.
"Saya memang tidak dibayar, tapi di awal kedatangan warga mempersiapkan keperluan saya untuk bertahan hidup," katanya.
Kini, Ikin mendedikasikan diri untuk mengajar agama di kampung itu tanpa dibayar sepeserpun. Untuk menyambung hidup, Ikin dan istrinya bertani di sepetak tanah yang dulu disiapkan warga.
"Bagi saya menjadi guru ya karena saya ingin membagi ilmu. Urusan tidak dibayar ya itu tidak apa-apa. Saya juga masih bisa menyambung nyawa berkat berkah yang tidak diputus Allah SWT," kata dia.
(tst/pua)