Sembari mengatur napas, saya menarik paksa koper yang satu rodanya pecah di terminal kedatangan bandara Internasional Indira Gandhi New Delhi, pada suatu malam di akhir Februari 2023.

Kecerobohan kecil petugas baggage conveyor memindahkan barang bawaan penumpang ini mengawali hari-hari perjalananku di India. Tepatnya menuju Delhi dan kemudian Vrindavan, suatu kota bersahaja yang dalam beberapa waktu terakhir menjadi tenar di media sosial.

Perjalanan ini adalah kali ke empat saya ke negara ini, sehingga saya sudah tak aneh lagi jika mendapati "kejutan-kejutan", sesuatu yang pada akhirnya menjadi biasa dan terbiasa. Cukup menyesuaikan dan menyamakan energi yang ada di sana.

Kali ini saya ingin melihat secara langsung perayaan festival tahunan terbesar di India, yaitu festival Holi. Festival menyambut berakhirnya musim dingin dan datangnya musim semi di Vrindravan, kota kecil di negara bagian Uttar Pradesh yang berjarak 170 kilometer dari New Delhi.

Sebelum saya terbang dari Indonesia, manajer hotel tempat menginap di Delhi sudah mengabari bahwa di bandara saya akan dijemput di pintu keluar nomor 5 oleh Prakash, staf yang bertugas menjemput dan mengantar tamu.

Saya melihat dan menghampiri Prakash, seorang pria yang memegang kertas bertuliskan nama saya, lengkap dengan kode penerbangan.

Dengan sigap ia membawa tas koper dan menggiring saya menuju gedung parkiran tempat mobil. Kami bergerak ke suatu hotel di Paharganj, kawasan yang dipenuhi hotel, kafe, restoran, dan pertokoan. Suatu kiblat wisatawan seluruh dunia yang menyambangi New Dellhi.

Mobil yang dikemudikan Prakash melaju di antara debu dan pekatnya malam. Suara klakson dari segala penjuru menjadi irama sendiri di malam pengujung musim dingin India. Suhu rerata saat malam hari 15-20° celcius dan siang hari 20-29°celcius.

Selama perjalanan menuju hotel, kami terlibat perbincangan mengenai pandemi Covid-19 yang membuat dunia berguncang. Bahasa inggris yang pas-pasan menjadikan kami percaya diri saling bercerita mengenai kondisi negara Indonesia dan India.

"Saya kehilangan pekerjaan sebagai supir tur dan travel karena New Delhi menerapkan lockdown. Enggak ada turis asing yang datang, hotel-hotel sepi, dan mayat bergelimpangan di rumah sakit, di dalam mobil, bahkan di pinggir jalan. Masa itu begitu menyulitkan," kenang Prakash.

"Polisi berjaga-jaga di setiap tempat, mengawasi pergerakan warga. Mau pulang kampung enggak bisa karena perbatasan wilayah ditutup. Pekerjaan tak ada dan harus bertahan hidup di tengah himpitan covid-19,” katanya lagi.

"Dan sekarang Covid sudah tidak ada lagi di India. Kami bebas bekerja dan pergi. Kami enggak perlu lagi menggunakan masker di manapun kami berada, kecuali yang merasa sakit dan menghalau polusi udara,” ujar Prakash sambil melirik spion.

Hari pertama. Pagi itu sengaja saya buka jendela kamar agar udara sejuk pengujung musim dingin menyusup ke seluruh ruangan. Tak lama kemudian, dua burung dara bertengger berkicau dengan cerewetnya mengajak untuk segera bergerak.

Suara klakson motor dan suara celoteh warga mulai terdengar dari gang kecil persis di sebelah kamar. Pagi dimulai.

Govinda Jaya Jaya
Gopala Jaya Jaya
Radha Ramanahari
Govinda Jaya Jaya
Nrsingadeva Jaya Nrsingadeva

Petikan lagu Govinda Jaya besutan band asal Inggris Kula Shaker yang populer era 1996-97 ini membuka hari. Sengaja saya putar dari YouTube sebagai "asupan" menyerap "energi" India.

Usai membersihkan tubuh, saya beranjak "cek ombak" hari pertama, berjalan dan melihat-lihat kondisi jalanan dan keramaian di sekitar hotel, sebuah ritual yang biasa saya lakukan setiap perjalanan.

Saya menikmati sarapan di kafe Krishna. Terdiri dari tiga lantai, kafe ini menyajikan berbagai menu mulai dari masakan China, masakan Barat, dan tentu masakan India. Kafe Krishna menjadi rujukan para turis yang berkunjung ke Delhi. Kendati rasanya tidak terlalu istimewa, paling tidak kafe ini menjadi pelarian bagi turis yang sudah bosan dengan kari-karian.

Saya memilih menu paket sarapan pagi; dua telur rebus, kentang goreng, salad (potongan wortel dan timun), potongan buah, dua tangkup roti dan selai, teh hitam hangat, dengan seharga 280 Rupee, atau sekitar Rp53 ribu.

Tuntas sarapan, saya harus mencari tiket kereta menuju Mathura, kota persinggahan sebelum menuju Vrindavan.

Sesungguhnya memesan tiket kereta di negara ini sedikit rumit buat orang asing. Setidaknya harus memiliki nomor ponsel lokal dan identitas lokal, dan atau mengisi form khusus di laman resmi kereta India jika hendak memesan jauh hari dengan sistem online.

Saya salah satu orang yang malas untuk melakukan hal-hal seperti itu. Pilihannya adalah membeli langsung di loket reservasi di stasiun.

Saya bertemu Madhuban Panchal yang fasih berbahasa Inggris saat kebingungan memesan tiket kereta tujuan Mathura di ruang reservasi, tak jauh dari stasiun kereta New Delhi. Panchal berusaha membantu mencarikan tiket.

Ia bukan calo tiket apalagi "scammer", melainkan seorang staf Indian Railways Catering and Tourism Corporation (IRCTC) yang berprofesi sebagai network security engineer. Ia yang mengisikan form pemesanan dan mengantre. Ia menyuruh saya duduk menanti di kursi yang lusuh berjejer di ujung loket reservasi.

Tak menunggu lama, tiket sudah tercetak dan segera kuraih dari petugas.

Tiket kereta Patalkot Express berwarna putih dengan dwibahasa Hindi dan Inggris dilengkapi imbauan kementerian kesehatan India, seperti menggunakan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Kereta ini akan membawa saya ke kota kecil Mathura.

Saya sengaja memilih kelas dengan harga setara kereta eksekutif Argo Parahyangan, supaya nyaman dan bisa rebahan untuk beberapa jam perjalanan. Nama kelasnya 2AC sleeper.

Usai membeli tiket Metro Delhi, saya menuju peron 2 stasiun MRT Ramakhrisna Ashram Marg untuk melanjutkan tur kota ke Chawri Bazar dan Chandni Chowk, kawasan kota tua Delhi.

Metro Delhi merupakan transportasi massal terbesar di India yang setiap harinya mengangkut puluhan ribu manusia dengan kecepatan dan ketepatan waktu berangkat dan tiba. Jaringannya terhubung dengan kota satelit sekitar Delhi seperti Ghaziabad, Faridabad, Gurugram, Noida Dan Bahadurgarh dengan jumlah total 255 stasiun.

Dengan jumlah penduduk semakin membludak, serta kemacetan lalu lintas yang cukup parah, dan jalanan yang kusut, kehadiran Metro Delhi ini menjadi solusi bagi warga. Harga tiketnya pun cukup murah untuk sekali jalan, dengan rute terdekat (l.k 500 meter) hanya 10 rupee (Rp1.800).

Stasiun kereta cukup bersih dan rapi begitu pula di dalam kereta.

Chawri Bazar dahulunya merupakan pasar grosir yang menjual produk tembaga, logam, kertas, onderdil, atau bahan makanan. Pasar yang terletak di kawasan Old Delhi ini didirikan pada 1840 dan pernah berjaya di eranya, sama seperti pasar Chadni Chowk yang lokasinya berdampingan.

Bangunan tua berlantai tiga dan empat sebagian besar terlihat lusuh dan berdebu. Beberapa dinding bangunan mengelupas dengan bata merahnya menonjol. Terlihat beberapa bangunan dengan gaya arsitek Eropa dan India, dengan daun pintu yang lebar dan tebal.

Para pemiliknya masih mempertahankan bangunan tersebut yang kini memperkuat identitas kawasan Chadni Chowk.

Saya mencoba menyusuri lorong sepetak bak labirin yang disesaki kiri kanan kios pedagang. Sesaknya gedung-gedung tua membuat cahaya matahari sungkan menerangi lorong itu. Suara klakson motor dan bel rickshaw (becak sepeda) bersahutan, lalu lalang buruh kasar yang memanggul barang-barang elektronik di jalan yang sempit membuatku harus mengalah saat berpapasan.

Saat tengah menikmati suasana di pasar ini, dari kejauhan saya mengenali suatu wajah. Berjenggot tebal dan berkepala plontos. Perlahan saya dekati dan memastikan bahwa orang tersebut saya kenal.

Dan, benar sekali!

“Are you Vineet Vohra?!” saya menyapanya secara refleks. Ia pun menoleh.

Ternyata saya tak sengaja bertemu dengan Vineet, fotografer jalanan (street photographer) dunia asal India. Karya-karya fotonya yang saya kagumi, dan mungkin puluhan ribu orang lainnya di dunia ini. Dengan santun, saya menyalami dan mengenalkan diri kepada Vineet. Ia membalas dan menyambut dengan hangat.

Saya ceritakan sedikit kepadanya bahwa saya mengagumi fotonya dan banyak belajar dari karyanya.

Ia pun kaget kala mendengar bahwa saya ke India seorang diri dan hanya berpesan hati-hati, jaga diri, dan nikmatilah India. Ia menyimak kalimat-kalimat yang saya sampaikan, dan dengan rendah hati ia membalasnya.

"Jadi kapan mau membuat workshop street photography di Indonesia?" tanya saya dengan lugas. Ia pun menjawab dengan tenang sambil tersenyum, "Tergantung kapan kamu dan teman-teman di Indonesia akan mengundang saya ke sana.”

Pertemuanku dengan Vineet tak begitu lama, karena ia tengah mendampingi temannya yang mungkin tengah workshop hunting foto. Saya meminta foto bersama sebelum berpamitan.

Kota Suci Vrindavan

Stasiun Delhi Safdarjung merupakan titik awal menuju kota Vrindavan via Mathura. Stasiun kecil ini berada di pinggiran bagian selatan New Delhi diapit perumahan dan pabrik.

Sebenarnya banyak jenis rangkaian kereta tujuan Mathura dari berbagai stasiun di kota New Delhi. Saya memilih berangkat dari Delhi Safdarjung karena waktu keberangkatan kereta yang pas. Tidak terlalu pagi dan tidak terlalu siang, meski akhirnya keberangkatan terlambat 40 menit dari jadwal yang ditentukan.

Tidak ada tujuan Vrindavan pada Patalkot Express yang saya tumpangi. Artinya, saya harus berhenti di kota Mathura kemudian menumpang automotor (bajaj) ke Vrindavan 30 menit dengan jarak tempuh 15 kilometer.

Ya, Vrindavan itu kota kecil dibanding Mathura. Bisa digambarkan mungkin sebesar kota kecil di Jawa Tengah. Seperti Purbalingga atau Blora.

Kereta melaju pelan, saya sudah duduk di nomor kursi sesuai pesanan. Beberapa penumpang terlelap tidur, perjalanan yang mereka tempuh mungkin lebih jauh dari saya. Di depan kursi saya, duduk seorang pemuda berkacamata yang sibuk dengan ponselnya.

Pedagang chai masala menawarkan tehnya ke seluruh penumpang yang ada di dalam gerbong. Suasana yang tak pernah ditemukan lagi di dalam kereta-kereta di Indonesia.

Banyak yang tidak tahu kota seperti apa sebenarnya Vrindavan. Terlebih lagi netizen yang hanya mengenal Vrindavan dari postingan video singkat maupun foto di media sosial, dan sebatas terpapar video pengolahan street food yang tidak lumrah menurut mereka.

Bahkan Vrindavan menjadi bahan olok-olokan tentang sebuah kejorokan, keanehan, dan kemunduran sebuah zaman.

"Jangan lupa ya, nanti kalau bertemu pedagang-pedagang makanan yang mengaduknya pakai kaki atau tangan di Vrindavan, difoto ya," pesan beberapa teman sebelum saya pergi ke India, kian menegaskan asumsi liar yang beredar.

Vrindavan merupakan salah satu bagian dari wilayah Braj selain Mathura, Barsana, Gokul, Nandgaon, Govardhan dan Bhandirvan. Kota ini merupakan wilayah penting bagi pemeluk Hindu di India dan merupakan tempat sejarah lahir Dewa Krishna dan masa hidupnya.

Krishna dianggap sebagai dewa tertinggi, serta dipuja di banyak tradisi Hindu dalam berbagai perspektif yang berbeda. Mengutip National Geographic, Krishna juga diakui sebagai inkarnasi ke-delapan (avatar) Dewa Wisnu, dan satu dan sama dengan Dewa Wisnu, salah satu trimurti dan sebagai dewa tertinggi dalam dirinya sendiri.

Berdasarkan Britannica, Vrindavan dahulunya merupakan belantara hutan kuno tempat Krishna menghabiskan masa kecil hingga remaja bersama Radha. Ia dilahirkan di Mathura, 15 kilometer dari Vrindavan. Mathura dan Vrindavan adalah dua kota suci dan bersejarah dan hingga kini menjadi kota peziarah umat Hindu.

Di kota ini, saya ingin melihat secara langsung festival Holi, melihat realita sebenarnya Vrindavan dan bukan sekadar “katanya” yang dihantarkan cerita viral saja. Festival holi, festival warna, perayaan menyambut datangnya musim semi selepas musim dingin di seluruh wilayah India. Sebuah simbol perayaan memuji kemenangan, kebaikan atas kejahatan.

Tiga jam perjalanan berkereta, tibalah saya di stasiun Mathura, negara bagian Uttar Pradesh. Disambut panas yang menyengat.

Saya menyepakati ongkos bajaj dari Mathura ke Vrindavan sebesar 500 rupee (sekitar Rp95 ribu). Karan Prajapati, sopir bajaj yang akan mengantar ke homestay langsung memasukan tas tentengan saya ke dalam bajajnya. Saya hanya membawa beberapa lembar pakaian dan perlengkapan penting lain. Sisanya saya titipkan di hotel New Delhi bersama tas koper.

Jalan sepanjang Mathura menuju Vrindavan berdebu dan banyak aspal yang mengelupas. Di sepanjangnya pun ada galian saluran air yang mempersempit ruas jalan. Saya harus memeluk erat tas ransel berisi perlengkapan foto agar tidak terjatuh akibat guncangan bajaj yang melaju di jalan berlubang.

Saya memastikan alamat homestay dengan bahasa gerak tubuh pada Karan. Sulit berkomunikasi karena bahasa Inggrisnya yang sangat minim. Karan mengambil jalan pintas menghindari kemacetan di jalur utama menuju Vrindavan, melewati pemukiman warga yang hanya bisa dilalui satu kendaraan roda empat secara bergantian. Hamparan sawah gandum membentang diapit pabrik kecil bata merah.

Kami menyusuri blok-blok perumahan kawasan Pushpanjali Baikunth, tempat saya menginap. Akhirnya kami sampai juga di Parable Stays, homestay yang sudah dipesan sebelum berangkat ke India.

Bangunan berlantai tiga ini terlihat seperti kos-kosan, diapit rumah hunian warga berada. Namanya perumahan, kawasan ini terlihat rapi, bersih, dan jarang lalu lalang orang kecuali penghuni di perumahan.

"Semua kamar di penginapan ini hampir penuh disewa,” ujar Deepak sang pemilk homestay.

Menjelang festival holi, memang banyak peziarah dari berbagai wilayah di India datang ke Vrindavan, sementara hotel dan penginapan di kota ini tidak sebanyak di daerah lainnya. Saat momen festival Holi, penginapan-penginapan penuh. Jika ada yang masih tersedia, biasanya jauh dari pusat kota.

Deepak menjelaskan jam sarapan makan siang dan makan malam di penginapannya. Untuk sarapan pagi mulai jam 9-11, makan siang jam 14-16, makan malam jam 20-22.

Saya terheran dengan waktu makan yang tidak umum bagi penginapan atau hotel lainnya. Saya berbalik bertanya, kenapa bisa selama itu.

"Staf kami harus berbelanja dulu, kemudian membutuhkan waktu beberapa jam untuk memasak. Jadi setiap makanan yang kami sediakan semuanya makanan yang segar bukan instan," jawab Deepak.

Saya merebahkan badan di dalam kamar, sembari memutar kipas angin secara maksimal karena begitu panasnya cuaca dan udara Vrindavan. Kontras dengan malam yang demikian dingin.

Hari itu, ada acara tunangan warga lokal yang menyewa ruang tamu penginapan Deepak. Saya diajak Deepak untuk hadir dan melihat secara langsung prosesinya, sekaligus makan malam yang disediakan secara prasmanan. Saya bayangkan menu panganan yang berlimpah lauk pauk khas Vrindavan.

Tamu-tamu mulai berdatangan, sejumlah perempuan mengenakan sari lengkap dengan aksesoris. Kaum pria berkemeja rapi dan ada yang mengenakan kurta. Mereka akan menghadiri acara pertunangan di ruang tamu penginapan. Memang, homestay ini sering disewakan sebagai tempat acara keagamaan, ulang tahun, atau pernikahan untuk skala kecil, karena hanya bisa menampung 20-40 orang saja.

Deepak, Mani (Istri Deepak) dan Mital (pelayan penginapan) sibuk menyiapkan tempat serta konsumsi selama acara. Kursi plastik berwarna merah tersusun rapi menghadap altar patung Kreshna dan Radha, dengan di atasnya terdapat spanduk kecil bertuliskan “Congratulation, it's a new beginning” dilengkapi balon kuning di sisi kanan dan kiri.

Saya mengamati dari kejauhan momen itu sambil mengambil foto dengan ponsel. Keluarga mempelai pria melihat gelagat saya lalu mempersilahkan memotret dari dekat acara yang cukup sederhana itu. Upacara ritual dari pihak mempelai pria tanpa kehadiran keluarga dan mempelai perempuan ini semacam meminta keberkahan dan keselamatan di pernikahan nanti.

Mempelai pria mengenakan jas abu-abu dikalungi rangkaian bunga mawar dan penutup kepala putih duduk menyamping didampingi keluarga. Tak lama pendeta Hindu merapal mantra-mantra sesekali membunyikan lonceng kecil. Tamu yang hadir menyaksikan secara khidmat.

Saya bertahan menunggu acara selesai, meskipun jam dinding sudah menunjukan pukul sembilan malam. Sembari menunggu waktu makan malam tiba. Memang sangat susah mencari makan di seputaran Pushpanjali, karena kawasan tersebut berada di pinggiran kota.

Saya meninggalkan acara usai menyantap makan malam yang sangat telat. Kembali ke kamar menyiapkan peralatan foto untuk besok dan istirahat.

Pukul lima pagi masih terlalu pagi dan gelap bagi warga lokal, sisa-sisa udara dingin membekap mereka yang enggan beranjak dari kasur. Usai menyeduh jahe bubuk yang sengaja dibawa dari Jakarta, saya menapaki anak tanga menuju rooftop penginapan.

Dari kejauhan terlihat biasan sinar matahari yang bersiap membuka pagi. Kabut pun mulai bergeser. Suara puja mantra terdengar samar-samar dan bersahutan dari toa sejumlah kuil. Kalau di Indonesia, pada jam yang sama suara azan subuh bersahutan dari masjid ataupun musala. Sesekali suara lonceng berdenting di antara puja-puja, ritual pagi di Vrindavan yang sedikit berbeda dengan kota suci dan peziarah seperti Varanasi.

Umat Hindu di India menganggap Vrindavan sebagai kota suci, karena di sini Krishna menghabiskan masa kecil hingga dewasa di bawah asuhan kedua orang tua angkatnya, Nanda dan Yasoda.

Sebelum era modern (sekitar abad ke-16), Vrindavan dipercaya sebagai hutan tempat tanaman tulsi berkembang. Di hutan tersebut, Khrisna tidak hanya bermain, tetapi juga mendapatkan keajaiban magis dan kekuatan spiritual, seperti yang diceritakan dalam kisah-kisah para dewa di India.

Di Vrindavan ada banyak kuil yang jaraknya berdekatan. Tak heran jika mendekati festival Holi, Vrindavan dipenuhi peziarah, baik wisatawan lokal dari seluruh India maupun mancanegara.

Kuil-kuil penuh dari pagi hingga malam hari. Tak hanya itu saja, kota suci Vrindavan juga telah menjadi daya tarik bagi para janda.

Dilansir dari Indian Express, ada ribuan janda yang menggantungkan hidup pada belas kasihan Vrindavan dan pedesaan di sekitarnya. Mereka mengabdikan sisa hidup untuk melayani Krishna, terutama di usia tua. Namun tak sedikit pula yang datang untuk menyelamatkan diri karena dibuang anak atau menantu.

Di India, seorang perempuan memang lebih sering tinggal bersama keluarga suami dan hubungan dengan keluarga kandung melemah ketika ia menikah.

Setiap tahun populasi janda pelarian ini bertambah meskipun pemerintah setempat menyediakan ashram (asrama) untuk janda lansia. Beberapa tahun terakhir, sejumlah NGO memberi perhatian penuh akan isu ini dengan memberikan tempat tinggal yang layak. Namun, masih saja ditemui janda-janda lansia yang mengemis untuk menyambung hidup.

Selain kisah mereka yang menjanda, perayaan festival Holi juga melekat dengan Vrindavan dibanding kota lainnya di India. Sebagai kota tua dan bersejarah, tradisi melemparkan serbuk dan air berwarna ini diyakini bermula dari kisah cinta antara Krishna dan Radha.

Satu lagi yang penting di Vrindavan, hampir sebagian besar masyarakatnya adalah vegetarian. Makanan sehari-hari tidak ada yang “berbau” daging-dagingan termasuk telur dan susu.

Perut saya harus bersiap menerima kenyataan ini, menikmati jadi seorang vegan untuk beberapa hari.

Perayaan Holi menjadi citra yang paling melekat dengan India di iklan-iklan, film, serta video musik. Masyarakat yang datang dari seluruh penjuru dunia bernyanyi, menari, dan menebarkan gulal (bubuk berwarna) dan air berwarna pada kawan, keluarga dan orang-orang yang lewat.

Meski pada mulanya adalah festival agama Hindu, Holi dirayakan oleh seluruh penduduk India dan juga jadi perekat kebersamaan. Anak-anak bisa bermain air dengan orangtua, perempuan menebarkan serbuk warna pada pria, dan untuk sesaat sistem kasta dan sekat-sekat masyarakat terlupakan. Malamnya, penduduk India menghabiskan waktu bersama kawan dan keluarga.

Perayaan Holi di wilayah Braj Bhoomi (Mathura, Vrindavan Barsana, Gokul, Nandgaon, Govardhan dan Bhandirvan) berlangsung selama sepuluh hari dengan berganti-ganti wilayah. Perayaan dan ritualnya pun berbeda.

Bagi saya, ini membawa kerumitan tersendiri.

Tadinya saya akan mendatangi semua prosesi perayaan Holi di tujuh tempat tersebut. Setelah dipikir matang-matang, saya putuskan mendatangi perayaan di Vrindavan dan Nandgaon saja dengan pertimbangan waktu, jarak, serta keuangan.

Jarak tempuh dari Vrindavan ke beberapa wilayah Braj Bhoomi rerata menghabiskan waktu dua jam pulang-pergi menggunakan bajaj. Namun, ongkos bajaj melonjak naik karena banyak permintaan.

Hari itu, bajaj membawa saya ke tengah kota. Hampir semua bagian yang dilalui aspalnya mengelupas sehingga shockbreaker tak mempan menahan goncangan karena jalanan yang rusak.

Perjalanan dari penginapan menuju tengah kota kurang lebih 30 menit karena ramai manusia yang berjalan di pinggir. Belum lagi bajaj, motor, dan bus antar-kota berhenti seenaknya. Saya melihat pusat kota Vrindavan sembari menghela napas.

Semula saya ingin berkunjung melihat dua hingga tiga kuil tua di sana. Namun antrean yang meluber sampai ke jalan dan sistem buka-tutup, membuat saya mengurungkan niat. Entah saya datang terlalu siang, atau memang sepanjang hari ada antrean masuk.

Akhirnya saya hanya melihat dari kejauhan saja, sembari mendengar suara-suara puja di kuil. Orang-orang yang hendak masuk kuil diharuskan melepaskan alas kaki meskipun masih dalam antrean. Polisi dengan siaga berjaga, menghalau para peziarah yang menerobos antrian.

Monyet-monyet liar asik bergelantungan di atas bangunan dan kabel listrik, mencoba “mencuri” barang bawaan peziarah entah itu kacamata, ponsel, atau makanan yang ditenteng. Matanya asat sekali mencari mangsa yang lengah.

Kali ini saya harus memutar tujuan lain, dan besok kembali lagi lebih pagi.

Matahari sudah berada di atas kepala sementara lambung mulai memberi sinyal. Perjalanan hari ini masih panjang.

Sebelum bergerak menuju sungai Yamuna, saya mencari kafe untuk mengisi amunisi perut. Tak ada pilihan lain, saya harus memesan nasi putih, mattar paner (kari kacang polong dicampur bawang bombay, tomat dan rempah-rempah), papad (kerupuk tipis khas india) dan roti naan. Saya meminta porsi setengah saja kepada pelayan kafe.

“Nepali? Thailand?” sapa pelayan kafe lokal kawasan Bhaktivedanta Swami sambil mengantar teh hangat.

“Oh, saya dari Indonesia,” jawab saya, mafhum dengan pertanyaan seperti ini di India ataupun Asia Selatan lainnya.

Kafe tempatku mengisi amunisi ini terbilang sepi, kursi-kursi terlihat kosong, sementara beberapa pelayan masih santai dan bermain ponsel.

Satu pelayan plontos mencoba berakrab-akrab saat saya mengunyah makanan, bertanya mengenai pengalamanan di India. Saya menjawab secukupnya karena fokus dengan santapan, daripada kelaparan dan kemudian menghalangi aktivitas.

Usai mengisi perut, saya melangkahkan kaki ke tujuan selanjutnya menuju sungai Yamuna. Banyak ruas jalan yang ditutup sepanjang perjalanan akibat membludaknya orang-orang yang hendak beribadah maupun ziarah di kuil.

Sopir bajaj terpaksa memutar balik mencari celah jalan yang bisa dilalui. Beberapa kali kami melewati bangunan tua tak terawat menuju sungai Yamuna, jalanan sempit berdebu, anjing-anjing liar berkeliaran.

Sama seperti sungai Gangga, Yamuna juga sangat dihormati dalam agama Hindu dan disembah sebagai dewi Yamuna. Dalam mitologi Hindu, Yamuna adalah putri dari dewa matahari, Surya dan adik dari Yama, Dewa Kematian, yang juga dikenal sebagai Yami.

Menurut legenda populer, mandi di air suci sungai ini membebaskan seseorang dari siksa maut.

Bibir sungai Yamuna di Vrindavan ini dipenuhi sejumlah ghat, anak-anak tangga yang menghubungkan langsung dengan sungai dan biasanya berdempetan dengan kuil-kuil tua.

Keshi Ghat dan Radha Bagh Ghat adalah dua ghat yang paling dan sering didatangi warga setempat maupun peziarah saat pagi hingga sore hari. Mereka datang untuk sembahyang dan mandi di sungai.

Perahu-perahu kayu dengan segala pernik dekorasinya berbaris menunggu pengunjung yang akan berkeliling menyusuri sungai. Air sungai yang sedikit hitam warnanya mengalir pelan.

Saya duduk di tangga Keshi Ghat memandang aliran Yamuna yang tenang dan anggun. Sesekali rombongan orang melintas sambil merapal puja-puja membawa kendi logam berisi abu jenazah yang akan ditebarkan di sungai.

Tak dipungut biaya untuk masuk ke sejumlah ghat di tepian Yamuna, baik untuk orang lokal maupun wisman. Di sekitarnya, tunawisma yang berusia lanjut hingga anak-anak berkeliaran mencari belas kasihan para pengunjung.

Sebenarnya waktu yang sempurna untuk mengunjungi Yamuna adalah sore hari, ketika matahari menghadap langsung pada ghat-ghat di sana, membuat ribuan nama Radha yang terpahat di struktur dinding Keshi Ghat terlihat jelas.

Setiap hari menjelang senja, ritual Aarti berlangsung di Keshi Ghat. Sebuah ritual yang selalu menarik perhatian wisatawan lokal maupun luar. Suatu ritual “memuja” dan berterima kasih untuk Yamuna yang telah memberkati kehidupan sepanjang sungai.

Sayangnya saya tak punya waktu berlama-lama untuk mengakrabi Yamuna. Panas siang itu meminta saya untuk segera beranjak.

Festival Holi

Keesokan pagi Ronit menungguku di depan penginapan sambil membersihkan bajajnya yang lusuh. Sebelumnya saya memang meminta Deepak untuk mencarikan bajaj yang bisa saya sewa seharian ke desa Nandgaon, sebab banyak sopir tak bisa berbahasa inggris.

Perayaan Holi membuat harga sewa bajaj naik karena permintaan tinggi. Untuk satu hari, harga sewa bajaj bisa mencapai dua ribu rupee (Rp340 ribu) sudah termasuk bahan bakar gas. Jarak desa Nandgaon lumayan jauh yaitu 48 kilometer atau sekitar satu jam dari Vrindavan berkendara.

Saya telah menyiapkan logistik makanan minuman, serta pakaian pengganti karena perjalanan kali ini jauh dari kota dan tentu saja bakal terkena serangan gulal (bubuk berwarna) dan air berwarna. Saya pun sengaja mengenakan pakaian dan celana yang lusuh karena nantinya bakal kotor dan susah dibersihkan usai terkena beragam air dan gulal. Peralatan fotografi terbungkus rapat menggunakan plastik yang dililit plakban.

Badanku terayun-ayun ketika Ronit membawa bajaj ngebut, menyalip bajaj lainnya di jalanan bypass menuju Nandgaon. Dari ponselnya yang tersambung pada speaker cempreng terdengar lagu India bervolume kencang.

Saya harus berteriak sambil memberi isyarat tangan agar ia sedikit memperlambat kemudinya dan mengecilkan volume musik.

Sebenarnya perayaan Lathmar Holi di Nandgaon dimulai pukul empat sore. Namun untuk menghindari kemacetan lalu lintas, penutupan jalan, dan padatnya orang yang akan mendatangi Nandgaon, Deepak menyarakan saya berangkat seawal mungkin.

Kuil utama di Nandgaon, Nand Bhavan, berada di atas bukit kecil yang diapit pemukiman padat warga. Sementara untuk menuju kuil tersebut, orang-orang harus berjalan kaki melewati gang kecil yang berbelok-belok dan menanjak. Semua kendaraan baik itu roda empat maupun roda dua harus parkir di lapangan kosong, kurang lebih 900 meter dari kuil.

Kami datang waktu yang pas, ketika jalanan mulai ditutup. Saya berjalan mengikuti arus orang-orang karena tak terlihat penunjuk arah menuju kuil.

Tak ketinggalan, sepanjang jalan menuju kuil pun dipenuhi penjual gulal yang sudah dikemas plastik. Demikian pula penjual mainan pistol air ikut mengais rezeki dari perayaan ini.

Jalanan mulai diramaikan anak-anak yang melempar gulal ataupun menembak air berwarna dengan pistol air. Bahkan bungkusan plastik berisi air pun dilemparkan ringan kepada siapa saja yang lewat.

Wah, belum apa-apa sudah “siram-siraman”, pikir saya. Tak ayal saya harus seawas mungkin menghindari orang-orang yang melempar gula maupun air secara acak.

Tibalah saya di tempat “pembantaian”, suatu gang kecil yang dipenuhi orang-orang setempat yang tanpa pandang bulu menyiram air dan melempar gulal. Gang ini adalah satu-satunya akses menuju bukit kecil tempat kuil Nand Bhavan.

Anak-anak yang sudah berkumpul dari atap rumah dari balik jendela siap “bertempur”. Anak muda laki maupun perempuan tertawa puas usai mengguyur tiga turis asing dengan air.

Bagaimana dengan nasib saya?

Saya pasrah ketika dari belakang ada siraman air berwarna kuning dan dilanjutkan lemparan gulal, lalu wajah saya dibalurkan gulal merah. Mau bereaksi apa lagi, tak mungkin marah dan kesal. Sebuah perayaan yang harus dinikmati dengan senang hati.

Saya tidak bisa menolak apalagi harus mengendalikan keadaan dalam suasana ribuan kegembiraan yang meluap di Nandgaon.

Usai melalui lorong, saya melebur berdesak-desakan dengan ratusan orang untuk antre masuk ke kuil. Pintu masuk yang dibuka hanya satu, dan lebarnya tak lebih dari dua meter dijaga oleh polisi. Sementara itu, petugas kuil menggunakan pengeras suara mengingatkan pengunjung untuk melepaskan alas kaki.

Begitu berhasil masuk, para pengunjung sudah berjoget-joget saling lempar gulal. Saya terus melewati kerumunan orang-orang, melindungi kamera dari lemparan air yang nyasar. Saya terbawa arus orang-orang yang merengsek ke tangga atas. Orang-orang yang membawa kamera, entah itu fotografer profesional atau content creator, membentuk barisan.

Saya sempat bertanya kepada warga lokal cara mendapat akses naik ke lantai atas untuk memotret. Ternyata cukup melaporkan diri ke panitia yang ada di ruangan persis dekat tangga. Saya pun ikut mengantre meski berdesak-desakan.

Lantai atas kuil yang terbuka ini mulai dipenuhi pegiat fotografi, baik perseorangan hingga kelompok foto tur. Saya mengamati dan memetakan posisi yang pas untuk memotret pada puncak perayaan nanti sore.

Matahari menyengat di ubun-ubun kepala dan lantai marmer yang tadinya adem ikut menyengat siang itu, sementara puncak acara baru dimulai empat jam lagi. Saya memandang ke bawah. Ratusan orang berpesta gulal merah-kuning-hijau, menebarkannya ke udara kemudian menempel di muka dan anggota tubuh mereka.

Suara gendang bertalu-talu tanpa henti mengiringi sebagian orang yang berputar-putar menari. Halaman bawah kuil seperti lantai dansa yang tak pernah kosong. Semakin siang, semakin padat.

Empat jam berlalu, kuil Nand Bhavan semakin ramai baik di lantai bawah dan lantai atas, tempatku bertahan seharian.

Sesekali gulal ditembakkan ke atas langit. Kuning, merah muda, biru, hijau, semua yang ada di lantai bawah menyambut dengan riang. Beberapa orang terjepit terjatuh tapi kemudian bangkit lagi menari-nari. Sungguh momen yang luar biasa.

Saya sendiri terjepit di antara fotografer yang ingin mengabadikan momen itu, disergap keriaan bercampur keringat.

Suasana makin seru ketika ratusan kaum pria Barsana masuk ke kuil, berjalan berbaris sembari mengenakan pakaian putih dan membawa tongkat kayu dan tameng.

Tak lama keriuhan terjadi. Pakaian berwarna putih berubah menjadi merah muda, kuning, hijau dan merah tua oleh siraman bertubi-tubi gulal dari pemuka Hindu dan masyarakat yang hadir di lantai bawah.

Tidak itu saja, serangan air oleh petugas dari lantai atas membuat suasana semakin menjadi. Orang-orang bersorak-sorak. Lantai bawah menjadi kubangan bubur gulal. Momen ini berlangsung lebih dari satu jam.

Sudah cukup memotret, saya memutuskan turun dan berusaha keluar dari kuil. Ini pun sebuah perjuangan, karena orang-orang menumpuk di tangga berbentuk L tersebut.

Sesampai di bawah, tak ada ruang kosong untuk merengsek keluar kuil. Sambil mendekap kamera dan tas ransel, saya berusaha keras menembus kerumunan orang-orang. Saya tak sempat melihat ke lantai dan tak tahu apa saja yang saya injak di lantai bawah. Yang saya rasakan seperti melangkah di kubangan bubur. Lengket dan licin berminyak.

Usai bersusah payah keluar dari kuil, saya dihadapkan lagi kepadatan manusia di lorong sempit menuju jalan utama. “Ya ampun!!” teriak saya dalam hati. Kali ini saya lebih berhati-hati lagi melangkah karena gulal membuat jalanan becek dan tentu saja bisa mudah terpeleset.

Siraman air dari warga belum berhenti. Namun saya tak sempat lagi untuk mengabadikan momen ini. Sebagian warga membagi-bagikan makanan, air, serta jeruk untuk semua orang yang lewat. Semua larut dengan kegembiraan bercampur suasana chaos.

Saat petang semakin dekat, orang-orang mulai membubarkan diri. Lelah dan penuh warna. Beberapa orang lainnya masih coba untuk meresapi semangat perayaan Holi, berkumpul di warung sambil menenggak minuman fermentasi.

Saya berjalan meninggalkan keramaian mencari Ronit di lapangan parkir untuk kembali ke Vrindavan. Wajah Ronit menyiratkan kekesalan karena lama menunggu.

Saya tepuk bahu Ronit sambil berucap, “Let’s go! Eat, eat,” sambil menggerakan tangan kananku ke mulut memberi kode untuk makan.

Perayaan Holi di Nandgaon adalah serangan terhadap semua indra: bau, pemandangan, suara, sentuhan, semuanya datang bersama-sama dalam warna-warni yang awalnya membuatku “geger budaya”. Warna-warni yang memunculkan rasa kegembiraan di tengah keakraban dengan orang-orang yang saya temui dalam kesederhanaan. Sebuah pengalaman dan kenangan yang tak tergantikan.

Radhe radhe radhe Krishna
e radhe radhe radhe krishna
your heart is a garden
your beauty is like a Yamuna river
your speech is music out of flute

Banke Bihari

Pukul enam pagi, langit masih gelap. Kabut dan udara sejuk masih membekap. Jalan hanya diterangi lampu jalan, karena matahari belum menyapa. Anjing liar melolong seolah memberi pesan kepada warga. Suara puja dan denting lonceng terdengar dari pengeras suara sejumlah kuil. Layar televisi di pos penjagaan masih menyala sementara petugas keamanan terlelap di kursi panjang yang dijadikan alas tidur darurat.

Sepagi dan sesepi ini saya berjalan keluar perumahan Pushpanjali menuju jalan utama, menanti bajaj yang akan membawa saya ke Kuil Banke Bihari di pusat kota Vrindavan.

Sesungguhnya badan masih terhuyung pegal, ditambah mata kanan terasa bengkak iritasi akibat kemasukan gulal di Nandgaon kemarin. Namun apa boleh bikin. Saya memaksakan diri untuk melihat satu perayaan Holi lagi di Vrindavan.

Phoolwalon Ki Holi namanya.

Phoolwalon Ki Holi adalah puncak perayaan Holi di Vrindavan. Jika perayaan Holi sebelumnya menebar gulal dan air berwarna, maka di perayaan Phoolwalon ini ditambah juga kelopak beragam bunga di dalam dan luar kuil Banke Bihari. Menurut info yang saya dapatkan, perayaan ini berlangsung dari jam sembilan pagi hingga jam satu siang. Orang-orang akan ramai memadati kuil ini.

Sopir bajaj terpaksa menurunkan saya di pinggir jalan yang jaraknya sekitar 800 meter dari pintu masuk kompleks kuil, karena akses dari dan menuju kuil Banke Bihari sudah ditutup. Padahal saat itu belum jam tujuh pagi.

Orang-orang yang berjalan tanpa alas kaki sudah ramai menuju kuil. Saya pun mengikuti geliat mereka. Sejumlah polisi telah mengatur akses masuk kuil. Pagar pembatas dipasang membelah jalan. Ruas kiri jalan untuk masuk, sementara kanan untuk akses keluar. Mata saya terbelalak saat melihat antrean tanpa jarak untuk masuk kuil. Hampir satu kilometer panjangnya!

Itu pun antrean masuk kompleks kuil, dan belum lagi mengantre dari gerbang sampai ke area dalam. Kuil Banke Bihari ini memang berada di dalam jalan kecil yang dipadati toko-toko peralatan sembahyang, rumah makan vegetarian, dan sebagainya.

Saya mengikuti antrean yang dibuat satu baris oleh aparat kepolisian setempat. Pantas saja antrean jadi panjang. Banyak orang yang tak sabar dan coba menyalip barisan, sehingga diteriaki dan ditarik polisi. Rotan sebagai alat senjata siap digunakan.

Antrean bergerak tak lebih dari 4-5 langkah. Sudah seperti antrean ponsel ternama seri baru.

Begitu sampai gerbang masuk ke kuil, empat polisi berdiri di sisi kiri dan kanan untuk memeriksa isi barang bawaan pengunjung. Lepas dari pemeriksaan, masuk lagi di antrean babak kedua. Kondisi ini dimanfaatkan sejumlah ibu dan anak untuk berdagang dengan menempelkan tulisan Radhe dengan aksara hindi di kening pengunjung. Hanya 20 rupee saja.

Kuil Banke Bihari merupakan kuil yang dikhususkan untuk Dewa Krishna. Kuil ini berdiri sejak abad ke-18 dan merupakan salah satu kuil bersejarah.

Bangunan kuil ini bergaya arsitektur khas Rajasthan dengan jendela dan pintu-pintu yang melengkung, dan terbuat dari susunan batu berwarna coklat muda. Kuil ini lumayan luas meskipun tidak bisa menampung ribuan pengunjung. Di dalamnya dilengkapi mimbar serta balkon berbentuk persegi yang mengelilingi.

Antre mulai dari jam tujuh sampai sembilan pagi, akhirnya saya berhasil masuk kuil Banke Bihari. Meskipun bersesakan antara pengunjung yang ingin masuk dan keluar.

Dengan sigap saya mulai memotret dari barisan belakang di dalam kuil.

Baru saja memotret dua frame, lengan kiriku ditarik petugas kuil berbadan kekar. Ia melarang saya memotret dan menyuruh segera bergeser ke depan yang bersebelahan pintu keluar. Saya pun mengikuti arahannya tak ingin berdebat panjang karena ratusan pengujung di belakang mulai merengsek ke dalam. Para pengunjung yang sudah masuk ke area dalam pun diperingati segera keluar untuk bergantian dengan pengunjung lain.

Otak saya berputar cepat. Saya berusaha menyelinap ke bagian depan, di samping anak tangga menuju mimbar. Saya berpikir, tak mungkin petugas dapat memantau ratusan orang yang masuk satu persatu.

Taktik ini berhasil untuk sesaat. Saya sempat memotret seadanya tanpa banyak mempertimbangkan posisi, komposisi, atau momen yang pas. Hanya tiga frame saja.

Setelah itu petugas kembali menarik saya keluar.

Saya sedikit patah arang, tidak boleh memotret dan tak ada perayaan Phoolwalon Ki Holi di dalam kuil Banke Bihari. Berjam-jam berdiri dan antre tapi dengan hasil yang tak sesuai. Perasaan bersalah atau menyesal terkadang memang kerap menggelayuti benak usai memotret, atau saat merasa hasil foto tidak maksimal.

Pertanyaan demi pertanyaan dalam diri seolah mengintimidasi. “Seharusnya saya harus begini, begitu…”

Manusia boleh berencana tapi situasi dan kondisi di lapangan yang menentukan. Menyadari tujuan perjalanan ke India, saya mulai memahami makna ini semua. Teruslah berjalan. Meski berkelok-kelok, tapi perjalanan ini akan membawa hal-hal baru yang belum pernah saya miliki yang kelak jadi penggalan pengalaman hidup.

Radhe, Radhe!

Prakkkkk! Gulal merah melayang ke wajah saya. Suasana suka cita berlanjut di jalan utama. Saya tak menghiraukan lagi mau mendapatkan foto bagus atau tidak. Saya bergabung dalam lingkaran yang dibentuk spontan oleh warga.

Gendang kecil dipukul bertalu-talu. Kami berjoget bebas saling memulas gulal. Suasana makin seru. Orang-orang yang melintas terpancing untuk bergabung, menyanyi dalam bahasa yang tak saya pahami.

Anak-anak muda menghampiri saya, meminta izin menebar gulal. “Acha, acha”, jawab saya.

Dalam suasana keakraban dengan orang-orang yang belum pernah saya temui sebelumnya, gulal menjadi sebuah simbol diplomasi. Kami melepaskan identitas, bahasa, ras, warna kulit dan status sosial, meleburkan diri dalam kebahagiaan perayaan Holi.

Selamat Tinggal Vrindavan

Saya masih punya kesempatan satu hari lagi di Vrindavan. Satu hari ini saya manfaatkan untuk menonton drama kehidupan di keramaian Vrindavan.

Manusia, hewan, sapi dan anjing berkumpul melintasi putaran waktu. Yang tak begitu saya suka adalah anjing-anjing liar yang berkeliaran dan menyalak jika bertemu dengan orang.

Jujur, saya takut dengan anjing. Ini karena enam tahun lalu betis saya pernah digigit anjing di Jodhpur, Rajasthan. Meski tak mengalami luka dan rabies, kejadian itu membuat saya selalu waspada dengan anjing di manapun berada, termasuk Vrindavan.

Selama berada di kota ini, saya tidak pernah mengalami hal buruk seperti penipuan, kehilangan barang, ataupun diganggu orang-orang. Saya seperti orang lokal yang berjalan tanpa ada yang mempedulikan, berjalan tanpa harus khawatir akan hal-hal yang tak diinginkan.

Vrindavan bisa saya katakan kota kecil yang pergerakannya santai, tanpa terburu-buru. Warganya tak sungkan membantu jika saya tersesat atau kesulitan berkomunikasi dengan orang-orang yang hanya berbahasa Hindi.

Bajaj mengantarku ke kawasan Rajpur Khadar yang masih di dalam kota Vrindavan. Euforia perayaan Holi masih terasa. Beberapa ruas jalan yang melewati kuil-kuil ditutup, lalu lintas dialihkan ke jalan lain menjadi ruwet. Petugas lalu-lintas kerepotan mengatur jalan, kendaraan roda dua dan bajaj saling salip menyalip, orang-orang berhenti dan menyeberang sekenanya.

Kalau tak seperti ini, tentu bukan India.

Selama di Vrindavan banyak sekali saya temukan pedagang kaki lima maupun kios semi permanen menjual makanan dan minuman.

Namun saya tidak dan belum pernah menemukan pedagang yang berjualan “mengobok-ngobok” adonan makanan ataupun minuman dengan tangan atau yang aneh-aneh. Semua yang saya temui menggelar dagangan secara umum dengan standar kenormalan masyarakat di sana.

Cara mengolah makanan atau minuman yang di luar kelaziman sering kali ditemukan media sosial dan dicap Vrindavan. Padahal postingan hal-hal tersebut belum tentu di Vrindavan. India tentu negara yang sangat luas, dan Asia Selatan bukan hanya India saja. Ada Sri Lanka, Bangladesh, Pakistan, Maladewa yang budayanya punya kemiripan.

Saya teringat dengan sebuah jurnal yang pernah saya baca tentang ruang simulacra. Menurut Jean Baudrillad, seorang filsuf post-modern yang kerap membahas filsafat sosial, budaya dan isu kontemporer, suatu realitas yang bukan keadaan sebenarnya bisa saja dicitrakan untuk meyakinkan masyarakat. Inilah disebut dengan realitas semu.

Realitas seperti ini sengaja atau tidak sengaja diciptakan oleh sejumlah media, yang kemudian menjadi acuan referensi oleh masyarakat pada umumnya. Dengan media, dunia imajinasi terbentuk dan disajikan oleh simulator yang bertujuan menggiring masyarakat pada suatu kesadaran palsu. Suatu ruang simulacra.

Kereta Golden Temple Express perlahan meninggalkan stasiun kereta Mathura usai masinis membunyikan klakson. Kereta Golden Temple yang bermula dari kota Mumbai ini akan mengantarku kembali ke New Delhi.

Di dalam kereta yang tak terlalu ramai penumpang, saya merekap kembali ingatan-ingatan pengalaman di Vrindavan. Kota kecil yang sesungguhnya tak pernah masuk ke dalam bucket list perjalanan, tapi rasa penasaran kemudian membawa saya secara mendadak melabuhkan kaki.

Nyaris satu minggu saya berhadapan dengan menu vegetarian, syair dan puja terbawa angin dari kejauhan, gulal yang berhamburan, yang meninggalkan jejak di jalanan. Saatnya mengucapkan selamat tinggal pada kota kecil yang bersahaja ini.

Radhe, Radhe, Vrindavan!