Rumah Tanggaku 'Panas' Gara-gara Beda Pilihan Politik
CNN Indonesia
Minggu, 19 Nov 2023 11:20 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Ilustrasi. Perbedaan pandangan politik bisa jadi masalah dalam rumah tangga. (CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani)
Jakarta, CNN Indonesia --
Ada benarnya juga kata orang, pilihan politikyang berbeda bisa jadi 'duri' dalam percintaan dan rumah tangga.
Tapi, yang juga tak terduga-duga, justru 'duri' ini-lah yang saya alami saat ini: cekcok dengan suami gara-gara beda pandangan politik. Cekcok berulang, yang lama-lama bikin saya jengah.
Kami menikah kira-kira tiga tahun lalu, setelah Pemilu 2019 digelar. Kala itu, kami tak perlu repot menghadapi cekcok politik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi hal yang sama tampaknya tak berlaku untuk momen jelang Pilpres 2024 ini. Kami justru terlibat cekcok, bahkan hampir setiap hari.
Ya, kami adalah sepasang suami istri, Aini dan Tedjo, yang hampir setiap hari bersikukuh dengan pandangan politiknya masing-masing.
Tedjo adalah lulusan ilmu politik di salah satu kampus terkemuka di Yogyakarta. Sementara saya menyelesaikan pendidikan saya mengambil ilmu komunikasi di salah satu universitas populer di Bandung.
Latar pendidikan kami memang berbeda. Begitu pula dengan pandangan politik kami.
Tedjo adalah tipe pria yang getol mengikuti berita-berita politik, apalagi yang menyangkut Pilpres 2024. Saban hari ia selalu membaca berita melalui gawainya. Kalau sedang makan, ia sengaja menyetel kanal berita untuk update informasi terkini.
Bagaimana dengan saya? Kebalikannya!
Ilustrasi. Perbedaan pandangan atau pilihan politik bisa jadi petaka dalam rumah tangga. (iStockphoto)
Untuk urusan politik, saya termasuk orang yang 'bodo amat'. Sakarepmu lah. Saking tak pedulinya, saya bahkan sempat berpikir untuk menjadi golput pada Pilpres kali ini.
Bertahan hidup saja sudah bikin mumet, apalagi ditambah memikirkan politik. Siapa pun yang kelak memimpin negara ini, silakan saja-lah.
Tapi, pikiran di atas jelas tak pernah ada dalam benak Tedjo. Ia tak pernah tertinggal sedikit pun informasi soal capres pilihannya. Ia bahkan menceramahi saya saat mendengar rencana saya untuk golput saat pemilihan nanti.
Tedjo jelas telah memiliki calon pilihannya sendiri. Ia bahkan mengajak saya untuk memilih nama yang sama seperti pilihannya.
"Udah, coblos dia aja, bagus lho, kelihatan kinerjanya," kata Tedjo suatu pagi. Kalimat itu nyeplos keluar dari mulutnya saat kami sarapan bersama sambil menonton berita di televisi.
Saya cuma menggeleng, mencoba mengatakan 'tidak mau' tapi tanpa suara. Lalu, kami sibuk dengan makanan di piring masing-masing.
Mulanya memang seperti itu. Hanya beberapa kalimat ajakan dari Tedjo yang berakhir saya diamkan.
Tapi, semakin lama, Tedjo semakin sering membangga-banggakan pilihannya. Muak betul.
Tak cuma itu, ia juga jadi lebih posesif dengan capres pilihannya. Sampai-sampai di satu titik, dengan lantang ia menyebut bahwa semua capres jelek dan tak berkualitas, kecuali yang dipilihnya.
Tedjo begitu 'mendewakan' capres pilihannya.
Simak cerita selengkapnya di halaman berikutnya..
Saya jelas jadi semakin risih. Dengan sikap mendewa-dewakan itu, ia juga seolah memaksakan kehendaknya pada saya.
Perbincangan yang mulanya hanya guyon soal pilihan capres ini lama-lama jadi hal yang serius. Ia pernah marah dan membentak karena saya ngotot tak mau memilih calon yang sama dengannya.
"Kamu, tuh, harusnya pilih dia, percaya aja lah sama aku. Udah pokoknya kamu harus nyoblos dia nanti," ujar Tedjo. Jujur saya, saya kesal bukan main.
Masalahnya, suamiku bukan tipe orang yang suka memaksakan kehendak selama ini. Apa pun itu, ia selalu berusaha mengambil jalan tengah saat kami berbeda pendapat.
Tapi, saat urusannya soal Pilpres 2024, Tedjo berubah. Ia tak mau mendengarkan pendapat saya, apalagi menghargai pilihan istrinya sendiri.
Lagi pula, apa salahnya, sih, jika suami istri punya pilihan politik yang berbeda? Bukankah setiap individu berhak dengan pilihan politiknya masing-masing, tanpa peduli ikatan apa pun yang ada.
Anak dan orang tua saja bisa beda pandangan politik. Masak suami dan istri tidak boleh?
Kian hari, perbedaan pandangan politik itu membuat hubungan kami kian memanas. Di tahun ketiga pernikahan, rumah tangga saya panas gara-gara beda pandangan politik.
Tak main-main, Tedjo bahkan pernah memberlakukan aksi diam seribu kata saat kami berbeda pendapat soal hal yang sama.
Ia diam selama sehari penuh. Tak ada satu pun jawaban yang keluar dari mulutnya saat saya mencoba mengajaknya mengobrol.
Sampai-sampai ada satu momen, ia tak mau melahap masakan yang telah saya siapkan. Gara-gara apa? Gara-gara saya tak satu pilihan dengannya.
Tedjo juga menjadi pribadi yang pemarah, utamanya jika saya mencoba mengkritisi pilihannya.
"Ya, aku enggak mau aja nanti yang menang yang salah. Enggak mau, ya, dipimpin sama yang salah selama lima tahun". Begitu kira-kira alasannya setiap kali saya mempertanyakan sikap memaksakan kehendaknya.
Tak mau kalah, saya selalu membantah setiap ucapannya.
"Dari mana kamu tahu kalau pilihan kamu juga bagus untuk lima tahun nanti? Jadi jangan memaksa, karena aku juga punya cara pandang sendiri untuk setiap calon di pilpres ini".
Tapi, Tedjo juga tak mau kalah. Ada ratusan bantahan yang lagi-lagi dilontarkannya saat saya melawan. Ia keukeuh ingin saya memilih nama yang sama dengan pilihannya.
Risih dan kesal jelas jadi dua rasa yang paling berkobar-kobar dalam diri saya. Hawa rumah juga terasa lebih 'panas' saat urusan politik sedang berkuasa di kepala Tedjo.
Dalam kondisi itu, sering kali saya memilih memisahkan diri dan berdiam di kamar sendirian, alih-alih nimbrung dan memicu keributan selanjutnya.
Sakarepmu lah.
Rumah Tanggaku 'Panas' Gara-gara Beda Pilihan Politik