LOVE STORY

Kami Adalah Pasangan yang Paling Mahir Berpura-pura Bahagia

CNN Indonesia
Minggu, 16 Okt 2022 17:00 WIB
Hubungan kami adalah hubungan yang diinginkan society. Tanpa sadar kami beradaptasi dengan ekspektasi orang lain, bukan keinginan kami sendiri.
Foto: CNNIndonesia/Astari Kusumawardhani
Jakarta, CNN Indonesia --

Tak salah menjadi seseorang yang selalu terlihat bahagia untuk menegaskan bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi di titik tertentu, itu bisa jadi petaka.

Saya adalah bukti nyatanya. Gara-gara terlalu sering berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, saya nyaris bercerai.

Proses perceraian itu sungguh melelahkan. Ia ibarat tercebur di tengah lautan. Energi pelan-pelan habis karena kau harus berenang ke tepian bertemu tujuan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sungguh, itu sangat menyiksa.

Beberapa hari sebelum jadwal sidang perceraian yang pertama, saya kehabisan akal. Rasa gundah yang tak tertolong membuat saya kabur dari jam kerja, berlari menuju mobil, dan melaju kencang menuju rumah. Hanya ingin menyampaikan satu kalimat pada istri di rumah: "Aku enggak mau bercerai".

"Aku minta waktu, ya," ujar Runi, perempuan yang kala itu telah lima tahun mendampingi saya.

Di hari persidangan, Runi tak datang. Bagi saya, itu adalah jawaban setuju untuk rujuk.

Satu dekade lalu, Runi adalah perempuan impian. Dia menjadi representasi perempuan ideal di kampus: cantik, pintar, baik, tempat curhat yang enak, dan mandiri. Begitu pula dengan saya, dikenal sebagai mahasiswa yang selalu akrab dengan siapa pun.

Jika didefinisikan, hubungan kami adalah hubungan yang diinginkan society. Hubungan kami kerap dielu-elukan, dianggap sebagai pasangan yang sempurna.

Tak boleh ada cacat yang terlihat. Jika kami terlihat bertengkar, orang-orang menegur.

"Ngapain, sih, pakai berantem segala? Runi, tuh, kurang apa? Baikan aja lah." Begitu kira-kira orang berkata saat itu.

Ilustrasi pasanganIlustrasi. Runi dan Alang dianggap sebagai pasangan sempurna dan dielu-elukan banyak orang. (iStock/Hiraman)

Dari sana, tanpa disadari kami beradaptasi dengan ekspektasi orang lain, bukan keinginan kami sendiri. Kami pun terus berusaha terlihat sempurna di depan orang-orang.

Keretakan hubungan sebenarnya telah tercium sejak kami masih berpacaran. Ekspektasi orang diam-diam membuat saya muak.

Ekspektasi adalah musuh manusia. Ekspektasi tak lebih dari harapan yang disimpan secara berlebihan.

Beberapa kali saya mencoba berselingkuh.

Bukan apa-apa, dengan perempuan lain, saya menjadi diri sendiri dan bisa melakukan apa pun yang saya inginkan. Tapi tidak dengan Runi.

Sampai akhirnya dorongan untuk menikah pun muncul.

Bagi kami, yang kala itu telah berpacaran selama enam tahun, pernikahan ibarat sebuah kewajiban. Karena pernikahan kami-lah yang diinginkan banyak orang.

"Ngapain, sih, pacaran enam tahun enggak nikah-nikah?" Kira-kira begitu pendapat banyak orang. Pernikahan seperti bagian dari sistem yang harus saya dan Runi tempuh.

Tanpa sadar, kebiasaan untuk memenuhi ekspektasi orang lain dan berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja terbawa hingga kehidupan rumah tangga.

Rasa lelah, tekanan mental karena kerja, berbagai beban pikiran tak pernah saya bagi dengan Runi. Saya biarkan Runi berhadapan dengan suaminya yang selalu ceria dan hangat. Saya selalu mencoba tersenyum, meski hati terasa lelah.

Puncaknya terjadi setelah Runi melahirkan buah hati kami. Runi berubah menjadi sosok yang berbeda. Tak ada sedikit pun rona kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya.

Tapi lagi-lagi, kami selalu berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Runi tak bercerita tentang perasaannya, begitu pula saya yang selalu bersikap seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Selama 1,5 tahun setelah melahirkan, saya bahkan tak bisa menyentuhnya. Jangankan bersetubuh, memeluk atau menciumnya pun sulit. Runi menutup akses tanpa kata-kata dan aba-aba.

Suatu hari kami mencoba kembali berhubungan fisik. Di tengah-tengah adegan ranjang yang rasanya begitu menggelora, mulutnya bergumam dan bersuara, "Ck..". Gumaman itu seolah menggambarkan perasaan malas, enggan, dan tak suka.

Rasanya ingin marah. Sebagai pria, saya merasa direndahkan.

Simak cerita selengkapnya di halaman berikutnya..

Kami Adalah Pasangan yang Paling Mahir Berpura-pura Bahagia

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER