Panggil Saya 'Kak', Bukan 'Mas/Mbak'
"Awalnya saya juga bingung. Who am I? Aku terlalu laki buat jadi cewek, terlalu cewek buat jadi laki."
Kalimat itu keluar dari mulut Feby (33). Baru pada 2022 lalu, Feby berani come out atau mengaku sebagai seorang bergender nonbiner.
Secara biologis, Feby terlahir sebagai laki-laki. Namun, ia justru mengidentifikasi dirinya sebagai seorang nonbiner.
Feby masih tampil seperti pada umumnya dan sesuai tempat. Rambutnya pendek, kadang mengenakan kaos dan kemeja biasa. Namun, ada juga waktunya saat ia ingin mengenakan platform heels yang biasa digunakan perempuan.
"Orang bisa melihat saya cis male (jenis kelamin biologis dan identifikasi gender laki-laki) pas pakai kaos dan kemeja. Pas pakai platform heels, orang mikirnya saya bencong. Yang mereka tahu itu 'he/she', padahal ada 'they/them'," ujar Feby bercerita pada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Nonbiner merupakan salah satu identitas gender yang tidak merujuk secara eksklusif pada laki-laki atau perempuan. Dalam beberapa tahun ke belakang, istilah nonbiner ramai jadi perbincangan.
Pada umumnya, masyarakat boleh jadi mengkotak-kotakkan gender ke dalam dua identitas: laki-laki dan perempuan. Namun di zaman kiwari, dua kotak itu bisa melebur, menjadi identitas-identitas lain yang semakin kaya.
Pada 2022 lalu, misalnya, anak dari artis Nadya Hutagalung juga memutuskan untuk menjadi gender netral. Ia bahkan mengubah namanya dari Nyla menjadi Alex.
Terlahir sebagai laki-laki tak membuat Feby kecil gemar bermain bola. Alih-alih bola, Feby kecil justru lebih senang bermain boneka Barbie.
Semasa sekolah, pembawaannya yang agak feminin untuk ukuran laki-laki membuat Feby dilabeli sebagai 'bencong'.
Istilah ini, menurut Feby, sah-sah saja digunakan dalam komunitas LGBTQ+. Namun bisa terdengar 'berbeda' saat digunakan kalangan nonkomunitas. Di tengah konstruksi sosial masyarakat, istilah 'bencong' masih saja memiliki konotasi negatif.
Feby pun terus mempertanyakan identitas dan jati dirinya. Feby sendiri bingung dengan dirinya sendiri.
"Aku sebenarnya terlalu cowok buat jadi cewek, tapi aku enggak pengin jadi cewek. Terus terlalu feminin buat jadi cowok juga," katanya.
Proses pencarian berlanjut hingga ia menemukan gender nonbiner. Ia mempelajarinya untuk mengetahui apakah gender satu ini terhubung dengannya, bukan sekadar sesuatu yang dianggap menarik dan berbeda.
Selain mencari referensi, Feby juga melakukan refleksi terhadap dirinya sendiri.
"Buat saya, gender itu social concern, how you bring yourself. It's not just about you, but how do you act, how do you expressing yourself in your community," ujar Feby.
Proses belajar dan belajar pun memantapkan Feby untuk 'come out' atau mengakui identitasnya sebagai nonbiner pada Mei 2022.
Tak seperti yang orang kira
Tak banyak yang berubah dari sebelum dan setelah Feby mengakui identitas gendernya. Feby masih tampil seperti masyarakat pada umumnya.
Satu-satunya perubahan besar yang ia rasakan adalah perubahan pronounce atau penyebutan. Di lingkungan yang bilingual, ia yang tadinya disebut 'he' berubah menjadi 'they/them'.
Tapi sayang, masih saja ada yang memanggilnya atau menyebutnya sebagai 'he'.
"Saya pengin semua orang mengenal saya dari 'he' ke 'they/them', termasuk di pergaulan dan ranah kerja profesional," kata Feby.
Bahasa Indonesia sendiri sebenarnya tak mengenal gender pronounce. Masyarakat +62 hanya cukup dengan menyebut orang sebagai 'dia', 'ia', dan 'mereka' tanpa peduli apa gendernya.
Paling-paling, penyebutan berdasarkan gender terasa saat memanggil seseorang yang lebih tua atau dihormati seperti 'bu', 'pak', 'mas', dan 'mbak'.
"Kalau saya, panggil Feby aja, mau umur berapa pun. Tapi mungkin ada orang yang enggak nyaman, jadi manggilnya 'kak'," imbuhnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya..