Menakar Peluang Restoran Indonesia Menggoyang Lidah Dunia
Dalam debat Capres beberapa waktu lalu, Anies Baswedan sempat menyinggung soal diplomasi kuliner atau gastrodiplomacy.
"Kemudian kuliner, kita merencanakan untuk membantu mendorong tumbuhnya restoran-restoran, kafe-kafe Indonesia di berbagai kota besar di seluruh dunia. Sebagaimana sekarang di Jakarta banyak sekali menyaksikan restoran asing di sini, kita harus memiliki rumah kuliner Indonesia di berbagai tempat," kata Anies saat itu.
Dia juga menambahkan bahwa negara harus hadir dan ada di belakang inisiatif untuk membangun restoran Indonesia di luar negeri, dan swasta yang akan mengelolanya.
Detty Janssen, diaspora Indonesia sekaligus pemilik catering JualanKu di Eindhoven, Belanda mengungkapkan bahwa membuka restoran, catering rumahan, atau usaha lainnya di Belanda jauh lebih sulit dibanding di Indonesia.
"Mendirikan bisnis makanan Indonesia di luar negeri harus melibatkan pemahaman dan adaptasi terhadap regulasi setempat, dan setiap negara bisa sangat bervariasi. Banyak sekali hal yang perlu diperhatikan, dari standar kesehatan dan keselamatan, izin usaha, dan sertifikasi pengolahan makanan dan lainnya."
Lihat Juga : |
Saat ini Detty memiliki usaha katering rumahan yang menjual berbagai macam kuliner Indonesia. Meski usaha rumahan, namun regulasinya, juga nyaris sama ketat dengan membuka restoran.
"Misalnya untuk di Belanda bisnis katering, dapur harus terpisah antara dapur jualan dan dapur pribadi."
"Selain itu, tempat makanan penyimpanan harus bisa dibedakan tidak bisa dicampur untuk pribadi dan untuk usaha. Bahkan, sampai penyedot asap harus sesuai standar negara agar tidak mengganggu tetangga."
Bahan Baku Autentik
Diakui Detty, selain modal yang cukup besar, urusan dokumen, dan juga perpajakan, kendala utama bagi para diaspora untuk membuka restoran.
"Walaupun sekarang rasanya tidak ada jarak antara Indonesia dan Belanda, tapi tidak dimungkiri Salah satu tantangan terbesar adalah mendapatkan bahan baku autentik, karena ini sangat mempengaruhi rasa dan keaslian masakan kita," katanya.
"Ini pastinya dialami teman-teman saya di negara di luar Belanda. Misalnya, seorang teman yang membuka restoran di Bratislava mengalami kesulitan karena keterbatasan ketersediaan bahan khusus Indonesia. Akhirnya dia terpaksa harus menutup restorannya, karena biaya dan bahan bakunya susah, sekalinya ada pasti mahal."
Hal senada juga diungkapkan oleh Ari Munandar, seorang chef asal Indonesia yang kini bermukim di Praha, Republik Ceko.
"Bahan baku makanan Indonesia itu susah, saya bicara di Praha ya, di Republik Ceko. Sekarang ini sudah mulai banyak ada yang basic-basic yang dipakai juga sama makanan Thailand. Tapi kalau cari yang asli Indonesia seperti kencur susah," kata Ari kepada CNNIndonesia.com.
Lihat Juga :LAPORAN INTERAKTIF Ci(n)ta Rasa William Wongso |
"Kalau sekalinya ada itu harganya mahal, karena akhirnya harus impor dari Belanda."
Ditambahkan dia, sebenarnya makanan Indonesia punya potensi besar di luar negeri. Warga Praha kata Ari, sebenarnya menyukai makanan Asia, namun yang banyak dikenal adalah makanan Thailand.
"Kalau makanan Indonesia mereka kenalnya bakmi goreng, nasi goreng, dan rendang. Baru itu makanan yang mereka kenal, seleksinya masih kurang ya."
"Di seluruh Praha ini, setau saya ada satu restoran Indonesia yaitu Garuda. Satu restoran lagi QQ Asian Kitchen dia itu lebih ke makanan Asia tapi ada makanan Indonesianya, khususnya Bali. Chefnya, Bli Nyoman itu asli Bali. Restorannya bahkan sudah dapat Bib Gourmand Michelin di 2021 lalu," ucapnya.