HARI ANAK NASIONAL

Psikolog: Anak-Remaja RI Mulai Lebih Nyaman Ngobrol dengan Chatbot

CNN Indonesia
Rabu, 23 Jul 2025 09:00 WIB
Ilustrasi. Tak sedikit anak di RI yang merasa lebih nyaman mengobrol dengan chatbot dibandingkan manusia. (istockphoto/HRAUN)
Jakarta, CNN Indonesia --

Anak dan remaja Indonesia mulai keranjingan kecerdasan buatan (AI). Tak sedikit dari mereka yang menjadikan chatbot sebagai teman curhat, atau dalam istilah kekinian disebut 'roleplay'.

Di sejumlah negara maju, AI telah berdampak begitu besar pada anak dan remaja. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, seorang anak remaja diyakini bunuh diri usai rutin mengobrol dengan chatbot.

Megan Garcia menggugat perusahaan Character.AI usai kematian anaknya pada Februari 2024. Ia yakin, putranya Sewell Setzer, menjalin hubungan dengan chatbot yang membuatnya menarik diri dari keluarga.

"Saya ingin mereka mengerti bahwa ini [chatbot] dirilis tanpa batasan, langkah-langkah keamanan, atau pengujian yang memadai. Ini adalah produk yang dirancang membuat anak-anak kita kecanduan dan termanipulasi," ujar Garcia, mengutip CNN.

Gugatan Garcia setidaknya memperlihatkan bahwa orang tua perlu merasa khawatir akan invasi teknologi AI yang kini tengah berkembang dan mudah diakses.

Hampir serupa tapi tak separah yang terjadi di AS, psikolog klinis anak Sarah Aurelia Saragih menemukan anak dan remaja yang merasa lebih nyaman berbicara dengan sistem AI alih-alih manusia.

"Saya belum menangani kasus yang secara eksplisit mengalami gangguan psikologis karena AI. Tapi saya mulai menemukan anak dan remaja yang merasa lebih nyaman berbicara dengan AI daripada dengan manusia," ujar Sarah saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

Sarah mendengarkan cerita klien-kliennya, yang bukan tentang konflik dengan orang tua atau masalah prestasi sekolah, melainkan tentang seorang 'teman' baru yang selalu ada. Teman yang tidak pernah menghakimi dan selalu siap mendengarkan.

Fenomena ini seperti puncak gunung es dari dunia emosional yang sepi. Anak-anak yang memiliki riwayat kesepian, kecemasan sosial, atau tekanan dari relasi sehari-hari, kini menemukan tempat 'pulang' di chatbot AI. Tempat yang tak pernah menghakimi, tak pernah marah, dan tak pernah menolak.

Sarah mengisahkan salah satu klien remajanya yang mengalami tekanan emosional di rumah. Alih-alih bicara kepada orang tua atau teman, ia memilih 'curhat' ke AI.

Ilustrasi. Psikolog mulai temukan anak dan remaja RI yang lebih nyaman ngobrol dengan chatbot ketimbang manusia. (iStockphoto)

Di mata anak ini, AI adalah satu-satunya pihak yang benar-benar mendengarkan tanpa memberi kritik atau tuntutan.

"AI itu enggak pernah bikin aku merasa bodoh", begitu kira-kira pengakuan sang remaja kepada Sarah kala itu.

Namun, hubungan yang tampak aman itu membawa dampak tersembunyi. Remaja tersebut mulai menarik diri dari pergaulan nyata, merasa kikuk saat diminta berbicara langsung, dan kerap cemas saat berinteraksi dengan teman sebaya.

Koneksi digitalnya semakin kuat, tapi relasi manusianya justru semakin rapuh.

Fenomena loneliness paradox

Psikolog klinis Arnold Lukito juga membenarkan adanya kecenderungan serupa. Anak-anak zaman sekarang mulai membangun relasi emosional dengan teknologi.

"Belum ada yang menyebut AI sebagai penyebab utama masalah [psikologis]. Tapi sudah ada anak yang mengaku lebih percaya chatbot daripada teman atau orang tuanya," kata dia.

Kata dia, fenomena ini dikenal sebagai loneliness paradox, yakni kondisi saat anak-anak tidak pernah benar-benar sendiri secara teknologi, namun justru mengalami kekosongan emosional yang dalam.

"Mereka dikelilingi koneksi, tapi kesepian," kata Arnold.

Di bidang pendidikan, dampaknya juga mulai terasa. Kata dia, anak-anak mulai mengalami penurunan minat belajar karena merasa semua informasi bisa didapat dari AI.

Tantangan dan proses belajar yang seharusnya melatih ketekunan mulai ditinggalkan. 'Kalau bisa instan, kenapa harus repot?', begitu kira-kira pola pikir yang kini terbentuk.

Padahal, proses belajar bukan soal hasil semata. Di sanalah anak belajar menghadapi kegagalan, mengasah rasa ingin tahu, dan membentuk tanggung jawab. Ketika AI mengambil alih semua jawaban, anak bisa kehilangan makna dari belajar itu sendiri.

(tis/asr)


Saksikan Video di Bawah Ini:

VIDEO: Pekerja Pemula Terancam Akibat AI

KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT
TOPIK TERKAIT
TERPOPULER
LAINNYA DARI DETIKNETWORK