HARI ANAK NASIONAL

Menerka Nasib Anak di Balik Ancaman 'Pisau Bermata Dua' AI

Tiara Sutari | CNN Indonesia
Rabu, 23 Jul 2025 08:15 WIB
AI ibarat 'pisau bermata dua' bagi anak. Di satu sisi, AI bisa menjadi pendidik alternatif. Tapi jika dibiarkan tanpa aturan, AI bisa berbalik menjadi ancaman.
Ilustrasi. AI ibarat pisau bermata dua bagi anak, bisa memberikan manfaat, tapi bisa juga berbahaya. (iStockphoto)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kecerdasan buatan (AI) hadir dalam hidup anak-anak seperti mainan ajaib yang tak pernah kehabisan baterai. Cerdas, cepat, dan bisa diajak bicara kapan saja.

Tapi, sebagaimana mainan yang terlalu canggih, AI juga bisa 'memainkan balik' anak-anak yang belum cukup matang secara emosional. Tanpa pendampingan, teknologi ini bukan hanya bisa mengganggu proses belajar, tapi juga memperkeruh dunia batin mereka.

Hari ini, AI bukan sekadar alat bantu tugas. Ia menjadi teman, guru, sekaligus pelarian digital.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Anak-anak yang penasaran akan segalanya kini menemukan shortcut. Dari menyelesaikan PR matematika dengan chatbot, membuat gambar menakjubkan lewat image generator, hingga mencari jawaban emosional lewat suara digital yang terasa empatik, semua bisa dilakukan dengan AI.

Namun, di tengah semua itu, para psikolog mulai menyuarakan kekhawatiran, bagaimana jika kehadiran AI justru mempercepat kerusakan psikologis yang tidak terlihat?

AI, pisau bermata dua di tangan anak-anak

Menurut psikolog klinis Arnold Lukito, AI bisa memberikan dampak positif jika digunakan dalam konteks, usia, dan pendampingan yang sesuai.

"Dari sisi perkembangan kognitif, AI bisa menstimulasi anak secara adaptif. Misalnya, anak yang kesulitan matematika bisa belajar lewat tutor AI yang sabar dan disesuaikan dengan gaya belajarnya," kata Arnold saat berbincang dengan CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Ini selaras dengan konsep zona perkembangan proksimal dari Lev Vygotsky, di mana anak berkembang optimal ketika mendapat bantuan dari pihak lain dalam menjalani tantangan belajar.

Tak hanya kognitif, AI juga membuka peluang eksplorasi kreatif. Aplikasi seperti AI art generator atau coding assistant bisa menumbuhkan rasa percaya diri dan pencapaian sejak dini.

Anak-anak bisa menciptakan gambar, cerita, bahkan aplikasi sederhana tanpa harus mahir secara teknis. Ini memperkuat rasa 'saya bisa' dalam diri mereka.

ilustrasi anak main gadgetIlustrasi. AI bisa memberikan manfaat positif bagi anak, tapi juga menyimpan bahaya. (istockphoto/Lacheev)

Tapi, kata Arnold, AI tak selalu indah. AI bagai pisau bermata dua, AI juga seperti gula yang manis tapi berbahaya jika dikonsumsi berlebihan.

AI, tentu saja, punya sisi gelap. Sisi gelapnya bahkan tak bisa diabaikan.

"AI memberi respons yang cepat, personal, dan menyenangkan. Ini mengaktifkan sistem dopamin secara intens, mirip dengan adiksi," ujar Arnold.

Ketika anak terlalu bergantung pada kenyamanan ini, mereka jadi malas berpikir. Fungsi eksekutif seperti pemecahan masalah dan ketekunan pun akan menurun.

"Anak terbiasa dengan solusi instan, kehilangan proses belajar yang membentuk daya juang sejati," kata dia.

Relasi emosional yang tersesat

Psikolog klinis anak dari Relasi Diri, Sarah Aurelia Saragih mengatakan, dalam jangka panjang, interaksi intens dengan AI bisa mengganggu perkembangan afeksi anak.

"Ada risiko anak lebih nyaman berinteraksi dengan AI ketimbang manusia," kata dia.

AI yang tersedia 24/7 dan terasa empatik bisa menggantikan peran teman, orang tua, bahkan guru. Untuk anak yang sudah mengalami kesepian, AI mempercepat pola menarik diri.

Mereka merasa 'ditemani', tapi sebenarnya semakin jauh dari koneksi sosial yang nyata. Hal ini pun memunculkan fenomena loneliness paradox, yakni secara teknologi tidak sendiri, tapi secara emosional mereka kosong.

ilustrasi anak main HP, Dampak AI ke anak, Kecerdasan buatan dan anak.Ilustrasi. AI tak menjadi akar masalah pada anak, tapi akselerator dari berbagai masalah yang telah muncul lebih dulu. (iStockphoto)

Namun, Sarah mengatakan bahwa AI saat ini memang bukan akar masalah, tapi hanya akselerator dari berbagai masalah yang telah muncul duluan.

"Kalau anak sudah kesepian, AI membuatnya makin tertutup. Kalau anak sudah sering membandingkan diri, kehadiran avatar digital malah memperdalam krisis identitas," ujar Sarah.

Dalam 5-10 tahun ke depan, para psikolog memprediksi akan ada lonjakan kasus gangguan kelekatan (attachment issues), penurunan empati, dan distorsi realita sosial gara-gara AI ini.

Anak tumbuh dengan persepsi bahwa dunia selalu cepat, responsif, dan 'mengerti dirinya', sebuah ekspektasi yang tidak realistis dalam relasi manusia sesungguhnya.

Simak selengkapnya di halaman berikutnya..

Belum Ada Aturan Spesifik Terkait Penggunaan AI

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER