Meski fenomena ini semakin meluas, hingga kini belum ada regulasi khusus yang mengatur penggunaan AI oleh anak-anak di Indonesia. Aturan yang ada masih sebatas soal pemakaian gawai dan internet secara umum.
Walau demikian, para pemangku kebijakan memang tak memungkiri potensi bahaya dari AI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu mengakui bahwa AI bisa sangat berbahaya jika tidak digunakan dengan bijak.
"Teknologi seperti AI itu ibarat dua mata pisau. Bisa membantu anak memperluas pengetahuan, tapi bisa juga membawa risiko besar seperti paparan konten kekerasan atau pornografi," kata dia ditemui di Gedung Kementerian PPPA, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Pria yang kerap disapa Pri ini menyebut, meski belum ada aturan khusus soal penggunaan AI, tapi pihaknya sudah menyiapkan Peraturan Presiden tentang Peta Jalan Perlindungan Anak di Ranah Daring. Dalam aturan ini, teknologi digital, termasuk AI akan mulai disentuh meski belum diatur secara rinci.
"Semua konten yang menggunakan teknologi informasi akan diatur lewat Perpres ini. Harapannya, konten digital bisa berdampak positif dan provider harus bertanggung jawab," ujarnya.
Namun, satu hal yang harus diingat, AI berkembang lebih cepat dari yang dibayangkan sebelumnya. Saat ini saja, anak-anak sudah bisa membuat suara palsu (voice cloning), gambar deepfake, bahkan menggunakan persona digital untuk menipu atau menjelajah dunia maya secara bebas.
Tapi sayang, regulasi justru baru mulai dibicarakan. Itu pun belum sepenuhnya mengatur teknologi baru ini.
Psikolog klinis dari Eka Hospital Bekasi Annisa Axelta mengatakan perlunya ada regulasi yang jelas soal ini. Ia menyayangkan belum adanya regulasi spesifik terkait penggunaan AI, utamananya pada anak, hingga saat ini.
"Kalau enggak diatur bisa berbahaya, anak-anak bisa akses apa pun tanpa pengawasan dari pemangku kebijakan maupun orang sekitar," ujar dia.
Tanpa regulasi yang kuat dan spesifik, AI bukan hanya memperbesar risiko eksploitasi, tapi juga bisa menjadi 'pendidik alternatif' yang tak punya empati, tak mengenal nilai, dan sudah pasti, tak tahu batas.
(asr/asr)