Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta buka suara soal fenomena keputusan individu atau pasangan untuk tidak memiliki anak atau childfree.
Kepala Dinas PPAPPP DKI Jakarta Iin Mutmainnah mengatakan ada banyak faktor yang memengaruhi hal tersebut, termasuk kondisi ekonomi. Keputusan yang digunakan warga memilih childfree atau menunda memiliki anak juga dipengaruhi aspek lain seperti gaya hidup, nilai personal, perencanaan karier, dan kesadaran terhadap tanggung jawab pengasuhan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Meskipun peningkatan angka kemiskinan dapat menjadi salah satu latar belakang keputusan sebagian warga, kami melihatnya sebagai bagian dari dinamika multifaktor, bukan satu-satunya penyebab," kata Iin, Senin (4/8) seperti dikutip dari Antara.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta menunjukkan, angka kemiskinan di Jakarta pada Maret 2025 sebesar 4,28 persen, naik sebesar 0,14 persen dibandingkan September 2024 yang sebesar 4,14 persen.
Sedangkan dibandingkan dengan tahun sebelumnya (Maret 2024), angka kemiskinan pada Maret 2025 turun 0,02 persen poin yakni dari 4,3 persen menjadi 4,28 persen.
Iin mengakui kondisi ekonomi memang menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keputusan individu atau pasangan dalam merencanakan membangun keluarga. Hal tersebut, sambungnya, termasuk memilih untuk menunda atau tidak memiliki anak.
Iin mengatakan Pemprov DKI berpendapat fenomena childfree terjadi sebagai bagian dari dinamika sosial yang muncul seiring dengan perubahan pola pikir masyarakat terhadap hak-hak individu. Dia mengatakan hak-hak individu ini termasuk hak atas kesehatan reproduksi dan perencanaan hidup.
Lebih lanjut, sambungnya, Dinas PPAPP DKI memandang fenomena childfree di Jakarta sebagai fenomena baru yang perlu menjadi perhatian karena dapat memengaruhi struktur demografi nasional.
"Dinas PPAPP DKI menekankan keputusan untuk tidak memiliki anak perlu dikaji lebih dalam, terutama terkait faktor ekonomi dan sosial yang mempengaruhinya," kata Iin.
Iin mendorong setiap pasangan menikah untuk merencanakan membangun keluarga sebaik mungkin dan mendorong agar semua keputusan diambil secara sadar, berdasarkan informasi yang benar, dan dengan tanggung jawab sosial. Dia juga menekankan pentingnya pembangunan keluarga yang berkualitas, karena keluarga tetap menjadi unit dasar pembangunan manusia dan masyarakat.
Dia mengatakan di wilayah urban seperti Jakarta maka beban biaya hidup, akses terhadap layanan dasar, serta tuntutan pekerjaan sering kali menjadi pertimbangan utama dalam keputusan membangun keluarga tersebut.
Kaitannya dengan upaya Jakarta menjadi kota global, Iin menyampaikan hal itu bukan semata dari pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur, tetapi juga dari upaya kota membina sumber daya manusia yang unggul, sehat, dan adaptif terhadap perubahan sosial.
Oleh karena itu, kata Iin, edukasi mengenai perencanaan keluarga, kesiapan menjadi orang tua, dan penguatan institusi keluarga tetap menjadi prioritas dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Lihat Juga : |
Dia mengatakan, Dinas PPAPP DKI terus berupaya mendorong pemanfaatan bonus demografi dalam mendukung Jakarta sebagai kota global.
Bonus demografi, kata dia, hanya dapat dimanfaatkan secara optimal jika generasi mudanya sehat, terdidik, produktif, dan memiliki akses terhadap kesempatan kerja. Dengan demikian, peran generasi muda menjadi sangat strategis dalam menentukan arah masa depan kota dan bangsa.
Merujuk pada Badan Pusat Statistik (BPS) melalui data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2022, ada setidaknya sebanyak 71 ribu perempuan Indonesia berusia 15-49 tahun (usia subur) yang sudah pernah menikah namun belum pernah melahirkan, tak ingin memiliki anak.
Perempuan yang menjalani hidup secara childfree terindikasi memiliki pendidikan tinggi atau mengalami kesulitan ekonomi.
BPS mencatat, dalam jangka pendek, perempuan childfree dapat dikatakan meringankan beban anggaran pemerintah karena subsidi pendidikan dan kesehatan untuk anak menjadi berkurang. Namun, dalam jangka panjang, kesejahteraan perempuan childfree usia tua akan berpotensi menjadi tanggung jawab negara.
Prevalensi childfree juga ditemukan meningkat selama empat tahun terakhir. Data SUSENAS mencatat, prevalensi childfree pada tahun 2019 sebesar 7 persen.
Angka tersebut sempat menurun pada tahun 2020 menjadi 6,3 persen. Prevalensi childfree kemudian meningkat pada tahun 2021 menjadi 6,5 persen dan melonjak jadi 8,2 persen pada tahun 2022.
Iin menambahkan, fenomena childfree yang terjadi di negara-negara maju menyebabkan terjadinya penurunan angka kelahiran secara terus-menerus, menyebabkan komposisi penduduk menjadi tidak seimbang, dengan jumlah lansia yang jauh lebih besar dibandingkan penduduk usia produktif.
Kondisi ini berdampak pada kemunduran ekonomi, menurunnya produktivitas, serta meningkatnya beban sosial dan fiskal negara.